Kemarin
baru saja bongkar-bongkar lemari, nyari SK CPNS yang tiba-tiba saja
tidak ada di dalam tas berkas tempat saya biasa menyimpan berkas-berkas
penting. Alhamdulillah akhirnya nemu selembar SK CPNS yang meski udah
agak kumal, menyebabkan saya ga jadi ke kantor untuk minta berkas itu.
Nah, ga sengaja, saya menemukan buku diary saya dulu. Untuk nostalgia,
saya pun membacanya dengan khusyu' :P
Kebetulan
ini buku diary ini adalah buku yang saya tulis ketika saya dulu selesai
kuliah. Ada cerita magang, prajab, penempatan defenitif, masa-masa
penantian, masa-masa galau, dan yang paling menarik ada cerita taaruf,
nikah, dan beberapa saat setelah nikah, lebih dari enam tahun yang
lalu... (tulisan terhenti ketika saya akhirnya mengikuti suami ke kota
Gorontalo, dan sepertinya setelah itu saya ga punya buku diary lagi.
Hingga sekarang...)
Sambil membaca, teringat
kembali betapa masa-masa peralihan dari kuliah ke bekerja, mungkin
menjadi masa yang paling berat bagi saya. Saya merasa tidak cukup sukses
melaluinya, meskipun akhirnya saya masih bisa 'bertahan' hingga detik
ini. Adaptasi yang sangat sulit saya rasakan, karena karakteristik dunia
kampus dan dunia kerja yang begitu berbeda. Da'wah kampus VS da'wah
birokrasi + da'wah sya'biyah. Masa peralihan itu benar-benar sulit...
"Berbulan-bulan,
bahkan sampai sekarangpun aku masih dalam rangka beradaptasi. Adaptasi
yang buruk, menurutku. Sebab, sangat jauh menurun.
Semuanya... semuanya...
Seperti
orang yang ada dalam ruang hampa yang gelap, tak ada cahaya, tak ada
tempat bergantung, tidak pula untuk berpijak, hanya melayang tak tentu
arah... Tak jelas.
Sesekali aku terbangun. Tapi biasanya tak berlangsung lama. Sesekali tersadar, namun segera 'hilang' kembali."
(Whoa... parah juga ternyata saya dulu ya? hehe...)
Dan
tentu saja, yang paling menarik adalah ketika membuka kenangan kembali
masa-masa peralihan dari lajang ke 'menjadi istri orang'. Deg-degannya
ketika terima biodata, malunya taaruf, persiapan pernikahan yang
ternyata begitu complicated, iman yang naik turun, galau pranikah,
tangisan ketika akad nikah, percakapan pertama dengan suami, romantisme
pengantin baru, hingga cerita LDL sampe akhirnya mutasi ikut suami...
Ada
satu halaman yang membuat saya sedikit tercenung. Di halaman itu, saya
tersadar bahwa episode kehidupan saya akan segera berubah (bakti yang
selama ini diberikan kepada ortu beralih kepada seorang lelaki asing).
Sore itu, setelah shalat ashar, saya mengangis tersedu-sedu, sendirian,
lamaaaa sekali. Sebelumnya baru saya menelpon mama-papa tentang
pernikahan. Rasanya sedih sekali meninggalkan mama-papa yang baru saja
saya coba bahagiakan.
"Belum setitik apa
yang ingin kuberikan untuk membalas apa yang telah mereka berikan
padaku. Seandainya melajang seumur hidup itu diperbolehkan, mungkin aku
akan melakukannya biar aku bisa sekuat tenaga hanya untuk mereka dan
adik-adikku. Sungguh..."
Setelah enam tahun
lebih menikah, memang bakti itu tidak sepenuhnya terputus. Masih banyak
jalan untuk membahagiakan mereka. Namun harus saya akui, dalam banyak
hal, saya memang banyak melupakan mereka (pikiran penuh dengan suami dan
anak-anak). Di sisi lain, mama-papa merasa pintu rejekinya lebih
terbuka lebar ketika cucu pertamanya lahir. Semoga kita masih diberi
kesempatan untuk mencoba membahagiakan mereka, karena membalas apa yang
mereka telah mereka lakukan adalah hal yang mustahil. Setidaknya dengan
membuat mereka bahagia dan bangga (semoga) kita dapat memperoleh
ridha-Nya...
#masih melow dengan kenangan lama :)
No comments:
Post a Comment
Jazakumullah khairan katsira...
Makasih banyak ya, sudah meninggalkan jejak di blog ini.
Have a nice day ^^