Friday, September 7, 2012

Nostalgia



Kemarin baru saja bongkar-bongkar lemari, nyari SK CPNS  yang tiba-tiba saja tidak ada di dalam tas berkas tempat saya biasa menyimpan berkas-berkas penting. Alhamdulillah akhirnya nemu selembar SK CPNS yang meski udah agak kumal, menyebabkan saya ga jadi ke kantor untuk minta berkas itu. Nah, ga sengaja, saya menemukan buku diary saya dulu. Untuk nostalgia, saya pun membacanya dengan khusyu' :P

Kebetulan ini buku diary ini adalah buku yang saya tulis ketika saya dulu selesai kuliah. Ada cerita magang, prajab, penempatan defenitif, masa-masa penantian, masa-masa galau, dan yang paling menarik ada cerita taaruf, nikah, dan beberapa saat setelah nikah, lebih dari enam tahun yang lalu... (tulisan terhenti ketika saya akhirnya mengikuti suami ke kota Gorontalo, dan sepertinya setelah itu saya ga punya buku diary lagi. Hingga sekarang...)

Sambil membaca, teringat kembali betapa masa-masa peralihan dari kuliah ke bekerja, mungkin menjadi masa yang paling berat bagi saya. Saya merasa tidak cukup sukses melaluinya, meskipun akhirnya saya masih bisa 'bertahan' hingga detik ini. Adaptasi yang sangat sulit saya rasakan, karena karakteristik dunia kampus dan dunia kerja yang begitu berbeda. Da'wah kampus VS da'wah birokrasi + da'wah sya'biyah. Masa peralihan itu benar-benar sulit... 

"Berbulan-bulan, bahkan sampai sekarangpun aku masih dalam rangka beradaptasi. Adaptasi yang buruk, menurutku. Sebab, sangat jauh menurun. 
Semuanya... semuanya... 
Seperti orang yang ada dalam ruang hampa yang gelap, tak ada cahaya, tak ada tempat bergantung, tidak pula untuk berpijak, hanya melayang tak tentu arah... Tak jelas.
Sesekali aku terbangun.  Tapi biasanya tak berlangsung lama. Sesekali tersadar, namun segera 'hilang' kembali."
(Whoa... parah juga ternyata saya dulu ya? hehe...)

Dan tentu saja, yang paling menarik adalah ketika membuka kenangan kembali masa-masa peralihan dari lajang ke 'menjadi istri orang'. Deg-degannya ketika terima biodata, malunya taaruf, persiapan pernikahan yang ternyata begitu complicated, iman yang naik turun, galau pranikah, tangisan ketika akad nikah, percakapan pertama dengan suami, romantisme pengantin baru, hingga cerita LDL sampe akhirnya mutasi ikut suami...

Ada satu halaman yang membuat saya sedikit tercenung. Di halaman itu, saya tersadar bahwa episode kehidupan saya akan segera berubah (bakti yang selama ini diberikan kepada ortu beralih kepada seorang lelaki asing). Sore itu, setelah shalat ashar, saya mengangis tersedu-sedu, sendirian, lamaaaa sekali. Sebelumnya baru saya menelpon mama-papa tentang pernikahan. Rasanya sedih sekali meninggalkan mama-papa yang baru saja saya coba bahagiakan.

"Belum setitik apa yang ingin kuberikan untuk membalas apa yang telah mereka berikan padaku. Seandainya melajang seumur hidup itu diperbolehkan, mungkin aku akan melakukannya biar aku bisa sekuat tenaga hanya untuk mereka dan adik-adikku. Sungguh..."

Setelah enam tahun lebih menikah, memang bakti itu tidak sepenuhnya terputus. Masih banyak jalan untuk membahagiakan mereka. Namun harus saya akui, dalam banyak hal, saya memang banyak melupakan mereka (pikiran penuh dengan suami dan anak-anak). Di sisi lain, mama-papa merasa pintu rejekinya lebih terbuka lebar ketika cucu pertamanya lahir. Semoga kita masih diberi kesempatan untuk mencoba membahagiakan mereka, karena membalas apa yang mereka telah mereka lakukan adalah hal yang mustahil. Setidaknya dengan membuat mereka bahagia dan bangga (semoga) kita dapat memperoleh ridha-Nya...

#masih melow dengan kenangan lama :)

No comments:

Post a Comment

Jazakumullah khairan katsira...
Makasih banyak ya, sudah meninggalkan jejak di blog ini.
Have a nice day ^^