Thursday, September 6, 2012

Ketika jaman berganti 2

Baiklah…
Daripada nanti idenya keburu ilang, mending saya tulis aja.

Sungguh saya tidak berniat membahas masalah benar-salah. Ini masalah selera, berdasarkan pengalaman dan pemahaman saya yang sempit. Sama sekali tidak menyalahkan yang memilih sebaliknya. Sekali lagi, ini hanya masalah like and dislike, bukan masalah right and wrong.

Bismillah…

“Bila seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaknya meminang,” kata Rasulullah mengandaikan sebuah kejadian sebagaimana dinukil Imam At Tirmidzi, “Maka, nikahkanlah dia. Apabila engkau tidak menikahkannya, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.”

Hadist ini menjadi salah satu hadist wajib (mungkin) bagi ikhwan-akhwat yang akan menikah. Jika tidak hafal, minimal tahu atau pernah membaca kata-kata Rasulullah ini. Juga saya dulu, hingga perkataan ini begitu ‘mendarahdaging’ dan tak pernah dilupakan. Ketika saat-saat itu sudah dekat, sudah lulus kuliah, dan –biasanya- langkah ke arah pernikahan insyaAllah akan dilalui, hadist ini semakin menjadi sebuah perintah bagi saya.

Maka saya pun berdoa kepadaNya agar tidak diperkenankan untuk menolak pria shalih manapun. “Jangan sampai ya Allah,” pinta saya ketika itu,”saya menolak lelaki shalih manapun yang meminang saya pertama kali.” Selanjutnya tentu saya berdoa agar Dia memilihkan seorang pria shalih untuk saya dan membiarkan pria itu datang sebelum pria lain. Pria yang mencintaiNya dan Ia mencintainya pula, yang mencintai RasulNya dan jihad-da’wah di jalanNya. Doa ini saya ulang berkali-kali. Tentu hingga pria pilihan itu akhirnya datang.

Saya begitu gembira, karena Allah begitu tau selera saya. Dengan sempurna sekali Ia memilihkan seorang pria yang tepat memenuhi seluruh kriteria suami idaman saya. Suami yang saya impikan, yang saya bayangkan akan begini begitu, datang tepat waktu. Proses, taaruf, khitbah, akad, dan walimah, semua persis seperti yang saya inginkan. Betul-betul seperti dreams come true.

Pun ketika sudah menikah, kemudian saya berhasil merasakan da’wah di kota kecil nan jauh seperti impian muda saya dulu –ketika semangat da’wah sedang begitu menggebu. Dan saya merasakan, melepas suami berangkat berda’wah. Juga merasakan ridha suami kepada saya ketika tiba saatnya saya malam-malam berangkat berda’wah ke tempat yang cukup jauh, meninggalkan suami, anak-anak, rumah. Demi ridhaNya. Semua demi Dia.

Tentu saya pernah simpati, menyukai, -kalau tidak bisa dibilang mencintai- seorang ikhwan. Beberapa  orang malah. Biasa lah, akhwat baru ghiroh ketemu ikhwan yang agak bagus penampakan berikut pemahamannya, ditambah agak sering berinteraksi, tentulah ada ‘rasa’. Saya termasuk yang rapuh sebenernya untuk urusan ‘hati’ ini. Ada ikhwan agak ‘bagus’ dikit, saya bisa langsung simpati. Karena kerapuhan itu, maka saya menbangun benteng cukup tinggi untuk hal-hal yang berbau VHMJ (virus hati merah jambu). Ghaddul bashar. Dan menghindari atau meminimalisir berkomunikasi dalam bentuk apapun dengan ikhwan, kecuali darurat. Hanya berikhtiar agar ‘rasa’ itu tidak tumbuh, sehingga saya bisa mempersembahkan hati saya yang masih suci kepada suami saya kelak. Juga supaya saya benar-benar bisa objektif dan memakai logika ketika proses menuju pernikahan itu kelak terjadi. Ketika saat untuk memilih itu tiba.

Saya sulit memilih. Saya takut jika pilihan saya salah. Lebih ringan jika Allah lah yang memilihkan. Maka saya minta agar Ia saja yang memilihkan untuk saya. Maka cinta-cinta tak hakiki itupun saya tebas habis. Bahkan ketika ia baru mau akan tumbuh sedikit dari benih yang entah siapa menanamnya, benih itu saya cabut habis hingga ke akarnya. Dengan pertolongan Allah, alhamdulillah saya bisa.

Bukannya saya ngga pernah jatuh cinta. Saya tau rasanya (tersiksanya) jatuh cinta. Pernah merasakan berdebar-debarnya ketika diajak ngobrol si dia, berbunga-bunganya ketika dia menelpon dari jauh, buku diary saya bahkan penuh dengan namanya, cerita tentangnya tak pernah henti menghiasi setiap halaman buku curhat saya, patah hati ketika ternyata ia ternyata lebih memilih sahabat saya, gembira ketika mereka putus, merindukan surat-suratnya datang ketika ia jauh, sampai akhirnya tau ia juga pernah menyukai saya. Picisan banget ya?

Ya, saya pernah merasakan cinta (monyet) itu. Sampai hidayah itu datang kepada saya, dan saya berhijrah dengan kesungguhan, termasuk ‘rasa’ yang pernah ada ini. Cinta ini saya pulangkan kepada pemiliknya. Saya tau Ia yang Maha Membolak-balikkan hati. Ia lah Sang Pemilik hati ini. Maka saya berserah, menyerahkan kepada siapa ‘rasa’ ini berlabuh pada akhirnya.

Maka saya memasungnya ketika ia menggeliat. Tak membiarkannya tumbuh barang sedikitpun. Memendamnya dalam-dalam hingga tiba waktu yang tepat untuk membiarkannya lari secepat kilat dan berkembang pesat.

Sekarang saya bahagia telah melakukannnya. Memberikannya kepada yang berhak, sungguh indah rasanya.

Saya tak menyalahkan yang pernah dan sedang jatuh cinta, untuk kemudian berikhtiar memperjuangkan cintanya. Sungguh saya tak hendak berkata itu adalah hal yang salah. Tapi boleh dong saya lebih memilih untuk sejak awal tidak jatuh cinta, hingga cinta dapat berlabuh ke dermaga yang seharusnya.

Ya, tulisan ini memang tentang saya, cara saya memandang cinta, dan bagaimana saya memperlakukan cinta. Tidak ada tendensi untuk menyalahkan yang lain yang tidak seperti saya. Sekali lagi, ini hanya masalah pemahaman saya, suka-tidak suka, bukan masalah benar-salah.

Mungkin cinta bisa menjadi argumentasi untuk menolak. Buat saya, mengendalikan jalannya cinta sejak awal lebih selamat. Sehingga tidak perlu menolak lelaki shalih manapun. Namun jika ia terlanjur ada, dan lelaki lain ternyata lebih dulu melamar, maka saya akan memilih untuk mematuhi hadist di awal tulisan ini, karena insyaAllah akan membawa keberkahan yang lebih besar.

Wallahu a’lam bishowab.

No comments:

Post a Comment

Jazakumullah khairan katsira...
Makasih banyak ya, sudah meninggalkan jejak di blog ini.
Have a nice day ^^