“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un..” Begitu bunyi kalimat teratasnya. Jantungku berdetak kencang. Siapa yang meninggal? Kubaca baris selanjutnya…
“…Telah
berpulang ke Rahmatullah kakak kita tercinta, mba Bunga Prihanande.
Mohon dibukakan pintu maaf dan mendoakannya agar beliau mendapat tempat
terbaik di sisi Allah SWT.”
Innalillah…
Tubuhku langsung lemas. Kaget, bingung, sedih, entah apalagi perasaan
saat itu. Kenapa orang baik selalu cepat berlalu… Rabb-nya tak tahan
berpisah lama-lama darinya… Ah, mba Bunga…
Teringat
perjumpaan pertama kami, biasa saja, tidak ada yang istimewa. Menjadi
penghuni baru di kost-anku dengan posisi kamar persis di depan kamarku.
Hingga suatu hari (aku selalu bersyukur jika ingat peristiwa ini) kami
bertengkar hebat. Tidak ada teriakan, bentakan, atau saling hujat, hanya
muka masam dan bantingan pintu, tapi membuat hati ini sediiih sekali.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Padahal hanya kesalahpahaman biasa, yang
masing-masing merasa ngga salah.
Setelah beberapa hari tak bertegur
sapa (serasa dunia sempit menghimpit) akhirnya kuberanikan diri meminta
maaf kepadanya. Masih terbayang jelas dalam ingatanku bagaimana aku
menghampirinya yang sedang menonton TV sendirian, tanpa basa basi
langsung minta maaf (dengan suara lemah bersiap menerima marahnya atau
apapun yang akan terjadi), dan beliau –tanpa menoleh sedikitpun,
pandangan tetap ke layar TV- berkata,”Ngga apa2…” Aku lupa lanjutannya.
Dengan lunglai aku kembali ke kamar, sepertinya usahaku gagal… Kemudian
akupun melanjutkan beres-beres kamar. Sekejap kemudian (aku ingat sekali
tak sampai 5 menit dari dialog barusan) tiba-tiba –dengan wajah
cerianya yang biasa- menghampiriku ke kamar dan bilang,”Nin, mau
lemariku ngga? Aku mau pindah nih, males bawa yang berat-berat.”
Alhamudlillah…
Begitulah
uniknya beliau. Sejak itu aku jadi deket sama mba Unga (panggilan
sayang untuk beliau), sampe suatu hari datang khusus ke kamarku ngajakin
ngekost bareng di Pondok Jaya. Jadilah kami satu kost lagi, dan ajakan
inilah yang akhirnya menjadi jembatan keikutsertaanku dalam da’wah
Pondok Jaya, kampus, dan tarbiyah sampai sekarang.
Mba
Bunga. Sifatnya yang supel dan namanya yang indah –mudah diingat-
membuat banyak orang kenal dirinya. Dia bahkan lebih terkenal dibanding
anak STAN manapun saat itu, padahal dia sendiri bukan mahasiswa atau
alumni STAN. Kakaknya lah yang anak STAN, meskipun akhirnya eksodus
(kemudian bekerja di salah satu perusahaan internasional). Mba Bunga
sendiri juga sempat beberapa kali menjadi guru privat untuk anak Duta
Besar … (aku lupa negara apa aja).
Tapi
yang paling dikenang dari sosoknya, selain keramahan dan senyuman yang
manis, adalah kepiawaiannya dalam mengolah masakan (karena memang pernah
mendapat pendidikan di bidang Tata Boga). Jadinya hampir setiap kajian,
rapat, pertemuan-pertemuan, juga kalo jalan-jalan, selalu dimasakin dan
dijamin ngga bakalan mengecewakan. Yummy deh pokoknya… (yang pernah
nyobain masakannya ga bakalan lupa, terutama ikhwan-akhwat penghuni
kompleks Pondok Jaya.
Pernah dalam sebuah kajian yang kami beri nama
“Liqo Ukhuwah” kajian setiap malam Rabu, gabung ikhwan-akhwat, setelah
dimasakin mba Unga semua makanan dibawa ke masjid Uswatun Hasanah oleh
beberapa orang ikhwan. Sampai acara selesai, akhwat ga kebagian bahkan
satu biji makanan pun! MasyaAllah… padahal kita yang masak… Mana tadi ga
sempet nyicip lagi… hehe…)
Beliau
juga yang pusing tujuh keliling mikirin rumah yang bisa dijadikan
basecamp akhwat Pondok Jaya, Ngurus sana sini sampe nalangin dulu uang
kontrakan demi keberlangsungan da’wah akhwat –khususnya- di kompleks
Pondok Jaya. Terakhir ku dengar da’wah di sana mandeg, ga ada lagi
markas akhwat. Wallahu a’lam…
Masih
ku ingat betapa marahnya dia saat berita tentang akan menikahnya aku
didengar dari mulut orang lain, bukan dari mulutku sendiri. Ah… Maafkan
aku mba…
Juga
masih kuingat betapa kagetnya aku saat membaca namanya tercantum
sebagai istri seorang penulis muda berbakat di majalah Annida. Subhanallah…
Memang
sejak berpisah saat lulus kuliah, komunikasi kami jadi terputus. Saat
aku pindah ke Gorontalo, pun saat kembali ke Jakarta, tak sempat memberi
kabar. Seringkali ingin silaturahim ke rumahnya yang di Graha Bunga
Bintaro, tapi tetap tak sempat bertemu muka, bahkan untuk say hello via
telpon. Ah…
Sampai
akhirnya berita duka itu kuterima. Tak lagi sempat melihat wajah
cantiknya untuk yang terakhir kalinya. Kata seorang teman yang kutanya
penyebab kematiannya, karena mba Unga sudah 2 kali hamil di luar
kandungan, yang ternyata menyebabkan gangguan di otak. Hari itu
dilaksanakan operasi yang menjadi saat terakhirnya di dunia ini. Ingin
ku susul ke Rumah Sakit Internasional Bintaro tempat beliau dioperasi,
tapi kata temanku jenazahnya sudah dalam perjalanan ke Padeglang,
kampung halamannya.
Teriring
doa untuk mba Unga tersayang, Semoga mba Unga mendapatkan kebahagiaan
di sisi Rabb-nya, diampuni dosanya, diterima amalan-amalannya, mendapat
tempat yang sebaik-baiknya. Aamiiin…