Thursday, September 6, 2012

Memilih untuk tidak memilih

Menyambung tulisan saya yang sebelumnya.

Di jaman saya bujang dulu, memilih calon istri/suami bukan sesuatu yang populer. Baik memilih beberapa alternatif apalagi ‘memilih sendiri’ (baca: mencari sendiri) calon istri/suami. Ketsiqohan terhadap murabbi dan jamaah tercermin lewat ketsiqohan kepada murabbi untuk mencarikan dan memilihkan calon istri/suami.

Bukannya tidak ada pilihan, kadang beberapa ikhwah ada yang memang disodori beberapa calon. Tapi memang dari awal memilih untuk tidak memilih, melainkan dipilihkan. Seolah tsiqoh kepada Allah untuk memilihkan melalui tangan murabbi.

“Saya akan berikan biodata akhwat hanya 3 kali. Jika pertama ditolak, saya akan berikan yang kedua. Jika yang kedua ditolak, saya akan carikan lagi yang ketiga. Namun jika yang ketiga ditolak, selanjutnya silakan cari sendiri.” Demikian kira-kira titah dari sang murabbi kepada binaannya ketika hendak berikhtiar mencarikan jodoh bagi mutarabbinya.

Ketika kita menyerahkan urusan jodoh ini ke tanganNya, maka insyaAllah Ia akan membersamai kita dalam proses itu. Jodoh bukan sesuatu yang ditentukanNya ketika ruh ditiupkan. Silakan lihat lagi hadist Arbain yang ke-4. “…Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya….”
Tidak kata-kata jodoh di hadist ini. Jodoh itu rizki. Ia harus dijemput. Ada ikhtiar disana.

Kembali ke tsiqoh. Tsiqoh kepada Allah untuk memilihkan kemudian di-ejawantah-kan dengan tsiqoh kepada murabbi. Memang dia bukan siapa-siapa kita. Bukan orang tua, saudara, tidak ada hubungan darah, bukan wali  kita. Kenal juga baru, mungkin juga tidak terlalu kenal akan diri kita begitu dalam, tidak tahu selera kita, apa mau kita. Dia tidak akan pernah tau kecuali kita memberitahukannya. Seberapa dekat kita dengan murabbi kita?

Jaman saya dulu, seperti inilah kira-kira gambarannya. Memilih akhwat (karena biasanya yang memilih itu kan ikhwan, akhwat relatif jadi pihak yang menunggu) seperti sudah menjadi hal yang tidak lagi tabu sekarang. Ketika ditawari akhwat shalihah, ia menolak karena kurang cantik. “Kalo tidak shalihah, saya akan mengusahakannya menjadi shalihah. Tapi kalo emang dari sononya tidak cantik?? ...” begitu kira-kira alasan ikhwan-ikhwan yang terus mencari istri cantik ini.

Padahal ia tidak tahu, ketika paras yang cantik bisa berubah menjadi jelek ketika ketidakshalihahan itu terlihat. Seandainya ia tahu, bukan cantik yang menyebabkan cinta, melainkan cinta yang menyebabkan cantik… (ini kata siapa ya?)

Namun tsiqoh juga bukan berarti taqlid buta. Apapun yang disodorkan kemudian tanpa dilihat, tidak usah taaruf, langsung akad saja, berserah dengan apa yang ada. Tidak sekaku itu juga. Ketika memang ada alasan yang syar’I, bukan nafsu semata, menjadi alasan sebuah penolakan, insyaAllah itu akan membawa maslahat. Ketika ada alasan yang kemudian menjadi penghalang keluarga yang akan dibangun menjadi sakinah mawaddah warahmah wadda’wah, maka proses boleh saja tidak dilanjutkan. Tentu penolakan dilakukan dengan cara yang ahsan, hingga meminimalisir ke-tidakberkanan-nya hati yang ditolak.

Tidak juga berarti ketika jodoh itu datang dari selain murabbi juga harus ditolak. Kitalah yang sebenarnya menentukan dari mana jodoh itu datang. Misalnya dengan tidak meminta dicarikan kepada orang selain murabbi. Namun ketika jodoh itu datang dari selain murabbi juga sesungguhnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan, sepanjang proses menuju pernikahan itu juga syar’i. Murabbi tentu juga punya keterbatasan yang menyebabkan ia tidak bisa mencarikan jodoh semua mutarabbinya. Meski demikian, tidaklah sulit bukan jika kita tetap menghormatinya dengan meminta pendapatnya mengenai calon kita?

‘Ala kulli hal, semua tergantung diri kita sendiri. Kita yang akan menjalani episode bersama orang asing dalam satu kapal. Keputusan yang diambil adalah keputusan kita. Jangan menyalahkan murabbi atau siapapun yang membantu mencarikan jodoh kita ketika mungkin kapal itu dilanda badai. Meminta bantuan, berkonsultasi, tentunya sangat direkomendasikan, terutama karena biasanya mereka lebih lama berumahtangga dibanding kita yang masih baru. Namun tidak menyalahkannya…

Berserah adalah lebih selamat. Menyerahkan pilihan kepadaNya, kemudian memohon bantuanNya untuk memelihara dan menjalani keutuhan rumah tangga yang dibangun dengan berikhtiar dengan cara yang syar’i.

Wallahu a’lam.

(mohon maaf kalo idenya lompat-lompat… Isinya juga nggantung… masih ada sambungannya)

No comments:

Post a Comment

Jazakumullah khairan katsira...
Makasih banyak ya, sudah meninggalkan jejak di blog ini.
Have a nice day ^^