Monday, March 30, 2015

Ekstrovert vs Introvert

Saya pikir, saya adalah seorang ekstrovert.

Saya bukan orang yang tertutup. Saya cukup senang berada di dekat orang banyak, meski saya tidak begitu supel. Saya bukan orang yang duduk di pojokan dan pendiam. 
Saya juga ga merasa punya rahasia yang saya simpan sendiri (saya selalu punya teman untuk berbagi).
Saya terbuka, senang berdiskusi (dan juga berdebat), senang berbagi info, membicarakan sesuatu dengan orang lain, kumpul-kumpul dengan teman, dan senang ngobrol.
Saya pikir saya ekstrovert.

Sampai pekan kemarin saya ikut sebuah presentasi tentang kepribadian, dan saya baru menyadari.

Saya mandiri. Teman-teman kuliah saya dulu pernah menjuluki saya "Independent Woman." Entah insiden apa yang membuat saya dapat julukan itu, saya lupa. Dan salah satu ciri orang introvert -menurut pembicaranya ketika itu- adalah independent. Karena orang introvert tak butuh orang lain untuk dimintai tolong, dia mampu dan dapat mengerjakan sesuatu sendiri, tanpa pertolongan orang lain. 
Kemudian saya teringat kalau saya memang senang kemana-mana sendiri. Pergi ke pasar, ke mall, membeli buku, atau kegiatan-kegiatan yang seharusnya dilakukan orang ekstrovert bersama orang lain atau beramai-ramai. Saya senang mendiskusikan sesuatu tapi saya lebih tidak suka membiarkan orang lain menunggu saya memilih barang-barang. Ya, saya senang kemana-mana sendiri, lebih bebas.

Saya suka bertemu dan ngobrol dengan teman-teman, tapi tidak dengan banyak orang. Satu atau dua orang mungkin sudah cukup banyak buat saya untuk saya ceritakan semua rahasia saya. Saya memang tidak punya terlalu banyak teman akrab tapi saya masih sanggup menyebutkan satu persatu teman-teman akrab saya mulai dari kelas 1 SD hingga sekarang. Satu tanda introvert lainnya...

Tidak senang basa-basi, ternyata juga tanda introvert. Ya, masuk akal. Berteman dengan banyak orang akan menyebabkan kita harus sering berbasa-basi.

Hobi saya? Membaca dan nonton film. Hal yang lebih nikmat dilakukan sendiri, meski setelahnya saya senang mendiskusikan isi buku atau film itu bersama orang lain. Jenis/genre yang saya sukai juga yang "mikir" (seperti science fiction, thriller, atau serial detektif), bukan yang lucu dan ringan... Katanya itu juga tanda introvert.

Tidak ekspresif mungkin hal yang paling mendasar. Saya bukan orang yang menyimpan kebahagiaan dalam hati saya sendiri, tapi saya juga bukan orang yang berteriak keras ketika terkejut atau terlalu senang. Jika orang ekstrovert itu panikan, maka saya tidak. Saya masih bisa berpikir ketika situasi darurat.

Well, ternyata selama ini saya salah menilai diri saya. Mungkin saya tidak sepenuhnya introvert, ada sisi ekstrovert juga dalam diri saya. Tapi sudah jelas bahwa saya dominan introvert.

Bukan masalah mana yang lebih baik dari mana. Hanya menyelami diri sendiri saja.
Bahkan setelah 33 tahun hidup dalam tubuh ini, saya masih bisa salah mengenali diri saya sendiri... hehehe...
Menarik bukan?

Sudah Anda mengenali diri Anda sendiri?


30 Maret 2015
Kontemplasi setelah tes kepribadian yang mencerahkan





Wednesday, March 25, 2015

Setengah eM

Perjalanan menggapai impian ini sungguh tidak mudah...
Sekedar sharing aja ya teman-teman, bukan untuk pamer atau mungkin ada yang dapat kesan mengeluh. Semoga tidak...

[Kadang (tapi cuma kadang-kadang lho ya), saya terpikir bagaimana seandainya tahun kemarin saya ga lulus tes beasiswa ini. Saya masih akan hidup dengan santai tanpa perlu memikirkan segala tetek bengek yang membuat kepala pusing ini.]

Well, sekarang saya pengen mbahas mengenai biaya.
FYI -semoga ada manfaatnya terutama untuk teman-teman yang mungkin mau lanjut studi ke luar negeri especially UK- untuk keberangkatan ini butuh dana antara lain untuk hal-hal berikut:
  • Deposit VISA. 
Sebut saja begitu. Intinya, pemerintah UK ingin memastikan bahwa kita memang memiliki dana untuk hidup di negara mereka, ga terkatung-katung. Untuk setiap orang yang akan ikut bersama saya (dalam hal ini suami dan 4 anak), saya harus nyiapin dana 4,140 pounds perorang (460 pounds kali 9 bulan, karena studi saya lebih dari 1 tahun).
(Tapi dana ini cukup nongkrong di rekening aja, diperlihatkan bahwa di buku tabungan saya ada dana segitu, sebagai salah satu syarat penerbitan visa oleh pemerintah UK.)
  • Biaya VISA
Ini biaya untuk bikin VISA-nya sendiri, yaitu 310 pounds perorang.
  • Biaya bikin paspor
Kalo yang ini saya belum searching lagi. Sekitaran 300 ribuan rupiah klo ga salah.
  • Tiket pesawat
Kira-kiranya sih sekitar 10 jutaan perorang sekali jalan. Bisa lebih murah kalo pas promo. Bisa lebih mahal juga...

  • Persiapan lain-lain
Misalnya beli ini itu untuk persiapan keberangkatan, seperti koper, baju-baju untuk winter, dll

Kalo di total-total, saya harus nyiapin dana sekitar lebih dari 500 juta rupiah lah...
(hampir mustahil saya ngumpulin duit segitu dalam jangka waktu kurang dari 6 bulan ini
Tapi tentu saja saya sudah punya rencana-rencana)

Dan Allah Maha Kaya dan Maha Berkehendak.
Allah berkuasa meluluskan saya sehingga dapat beasiswa ini, dan Dia juga yang akan memudahkan langkah saya untuk bisa menjalani setiap step menuju kesana, hidup disana hingga kembali ke tanah air.

Kadang terpikir juga untuk berangkat sendiri, ga perlu pusing nyiapin apapun karena semua sudah ditanggung pemberi beasiswa. Tapi saya ga bisa hidup tanpa anak-anak, tanpa keluarga saya. Keputusan sudah diambil, semoga Allah memberikan kemudahan dan keberkahan dalam setiap langkah, dalam setiap helaan nafas...




25 Maret 2015
Galau ga punya duit tapi pengen ngajak anak-anak ke luar negeri

Thursday, March 19, 2015

Finally... Letter of Acceptance!

Saya apply ke York dan submit tanggal 24 Februari. Akhirnya yang ditunggu datang juga.
Kemarin-kemarin masih galau (sebagaimana cerita saya sebelumnya disini) tapi dengan adanya offer ini membuat saya mulai fokus.

Tadinya pilihan saya banyak (Leeds, Sheffield, Southampton, York, New Castle, Birmingham), sampe akhirnya mengerucut menjadi 2 pilihan saja, University of Southampton atau University of York. Saya memang cuma apply ke dua universitas ini saja. (Ga seperti temen-temen lain yang ngoleksi belasan Letter of Acceptance (LoA) dari berbagai universitas di UK, Aussie, maupun US hahaha...)

Untuk yang Southampton (Soton) saya sebenernya sudah apply untuk program MBA (Master of Business Administration), tapi bodohnya saya salah input, maunya yang 2 tahun tapi ga sengaja ke-input untuk yang 1 tahun. Begitu dapat LoA saya baru sadar kalo salah pilih program. Untuk program 2 tahun mereka punya nama sendiri. Unfortunatelly, mereka sampe sekarang baru akan punya integrated program untuk MBA (sedang dalam proses). So far, saya masih tetep kontak sama Admission Team disana.

Di University of York saya juga nyari program yang 2 tahun. Ada MPA (Master of Public Administration) disana, tapi ga ada MBA. Saya akhirnya apply untuk program MPA in Comparative Applied Social & Public Policy, Evaluation & Research (CASPPER). Dan alhamdulillah pagi ini dapet kabar gembira dari sana bahwa saya mendapat unconditional offer.

Lega sekali rasanya menerima berita ini. 
Well, hampir semua teman seperjuangan (sesama penerima beasiswa SPIRIT) sudah menerima LoA dan beberapa sudah memutuskan akan kemana. Sebagian sudah dapet pasport birunya juga. Ini udah bulan Maret dan waktu terus berjalan. Februari masih tenang-tenang aja, perasaan September tuh masih lama. Tapi masuk Maret, pikiran mulai galau. Banyak steps yang harus dilewati setelah dapet LoA. Ngurus paspor biru, minta CAS, VISA, dst... dan tiap step ini bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu.

Setelah diskusi panjang dan berkali-kali dengan suami, kami akhirnya memutuskan untuk fokus ke York aja. Banyak pertimbangan yang membuat kami memilih kota yang indah ini. Biaya hidup, teman, kampusnya juga. Jika ini final decision kami, semoga inilah yang terbaik...

So, this is my future campus 
(hasil googling hehehe...)

 

Semoga nanti di foto itu ada gambar sayanya :D


19 Maret 2015, finally get the offer

Friday, March 13, 2015

Keluarga Kedua

Pekan kemarin, saya dan teman-teman di kantor menyengajakan foto bersama. Memang pekan sebelumnya, kami dikejutkan dengan berita dimutasikannya beberapa rekan kami ke kantor yang baru. Mutasi sebenarnya hal yang sudah biasa, tapi tetap saja selalu ada cerita dalam setiap perjumpaan dan perpisahan. Kami pun ingin membuat kenangan berupa foto yang kelak akan mengingatkan kami akan rekam jejak kami dulu di kantor ini.

Ini foto kru Materi Penyuluhan, seksi tempat saya mengabdi tiga tahun terakhir...

Sesuai namanya, kami bertugas menyiapkan materi untuk kegiatan penyuluhan perpajakan. Saya dan teman-teman membuat konsep untuk kemudian digunakan oleh teman-teman tenaga penyuluh pajak di lapangan di seluruh Indonesia. Kami membuat bahan (slide) presentasi, buku, undang-undang, leaflet, flyer, spanduk, dan media penyuluhan lainnya.

Saya orang dengan tipe visual, dan saya ditempatkan di tempat yang sangat mengasah ke-visual-an saya, yang menyebabkan saya sangat enjoy bekerja di bagian ini.

Pekerjaan membuat slide mengharuskan saya menyesuaikan bahasa 'pajak' ke bahasa 'orang awam'. Saya menerjemahkan peraturan pajak (yang mungkin ribet dan sulit dimengerti bagi masyarakat umum) ke bahasa yang lebih mudah dipahami. Tampilan slide tentu juga harus mendukung. Hampir setiap hari saya mengunjungi Office Powerpoint.

Selain slide presentasi, saya juga belajar membuat leaflet, buku, undang-undang, dan bahan cetakan lainnya, dengan menggunakan program Adobe. Selama disini, saya diberi kesempatan belajar Adobe Illustrator, Photoshop, Indesign, termasuk juga whiteboard animation yang baru-baru ini ngetrend. Semua untuk membuat tampilan yang menarik dan informatif agar pajak menjadi akrab bagi masyarakat.

Selain pekerjaan yang saya senangi, saya juga sangat bersyukur bekerja bersama orang-orang yang luar biasa. Kepala seksi saya seorang yang sangat baik dan pengertian, tidak pernah rasanya beliau melakukan atau mengeluarkan kata-kata yang membuat saya tidak berkenan. Sangat menyenangkan menjadi bawahan beliau. Beliau kebetulan ikut gerbong mutasi ini. Sedih juga ditinggal bos sebaik beliau, tapi inilah pengabdian. Semoga beliau sukses di tempat yang baru, dan semoga penggantinya juga baik seperti beliau... hehehe...

Rekan-rekan sesama staf juga teman-teman yang menyenangkan. Sepanjang saya mengingat, rasanya tidak pernah berselisih paham dengan mereka, satupun. Mereka sangat membantu, ramah, saling mendukung, ga pernah iri-irian atau sikut-sikutan... Ah... saya pasti akan merindukan mereka nanti...

Bagi saya, mereka adalah keluarga kedua saya. Mungkin ada yang kurang setuju dengan istilah ini, tapi bagi saya, mereka adalah salah satu yang terpenting. Sepuluh jam lebih saya habiskan bersama mereka, tidak akan mungkin saya lalui dengan bahagia jika saya ada masalah dengan mereka. Jika suasana kantor tidak kondusif, bisa-bisa saya juga ga betah di kantor.
Sebagai seorang abdi negara, ketika ada masalah di kantor, saya tidak bisa serta merta quit atau pindah ke tempat lain dengan segera. Maka saya perlu memastikan suasana kantor juga menyenangkan agar saya bisa bekerja dengan baik. Dan alhamdulillaaah... so far mereka memang seperti keluarga saya.
Semoga tali silaturahim ini bisa terjaga hingga kelak...


13 Maret 2015... 
Edisi -masih merasa- kehilangan bos lama meski udah move on sama bos baru :P

Monday, March 2, 2015

Sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil

Sepulang dari kantor, senin sore menjelang malam.
Seperti biasa aku sempatkan menggendong Sofi begitu masuk rumah. Kurasakan kepalanya agak panas ketika ia menempelkan keningnya di leherku. Tapi aku ngga begitu memperhatikan.

Senin malam.
Sofi masih ceria seperti biasa. Ia tidur pukul 8 seperti biasa di kamar anak-anak.
Pukul 11 malam pintu kamarku diketuk Nur, pengasuh Sofi, sambil menggendong Sofi.
"Umi, Sofi panas. Dari tadi bangun terus."
Ternyata tidurnya tidak nyenyak.
Sampai jam 2 malam Sofi ku gendong, ia tidur dibahuku. Malam itu aku tidur di sebelahnya hingga pagi.

Selasa pagi.
Sofi masih ceria seperti biasa, cuma badannya mulai anget. Aku ijin dari kantor dan pulang, lihat perkembangan. Sampai di rumah Sofi tambah panas. Ku minumkan paracetamol sirup yang memang selalu ada stoknya di rumah. Ku tambah juga dengan madu. Hingga sore panasnya naik turun. Sofi pun mulai rewel, maunya di gendong terus. Aku pun mulai khawatir.

Selasa malam Sofi ga mau tidur di kasur. Semalaman ia hanya mau ku gendong, tidur dibahuku. Sofi ga mau kalo aku pake kain gendongan. Ia juga marah jika aku duduk. Hanya tenang jika aku menggendongnya, memeluknya sambil berdiri. Ia selalu terbangun ketika aku mencoba menidurkannya di kasur. Jika Sofi sudah benar-benar lelap, pelan-pelan aku duduk di kasur dengan bersandarkan bantal, tidur memeluknya sambil duduk. Begitu terus sampai pagi.

Rabu aku putuskan untuk ambil cuti 3 hari. Sofi sedang membutuhkanku. Kebetulan kamis libur, jadi ada bonus satu hari untuk menjaganya.

Sofi tidak mau makan apapun, kecuali kerupuk kesukaannya, itu pun hanya sesekali. Perkedel yang biasanya dia suka, tak mampu membuatnya membuka mulutnya untuk makan. Sudah dua setengah hari Sofi panas dan rewel, hanya mau digendong, tak mau berjalan dan bermain. Rewelnya bertambah maunya, digendong terus. Sesekali ia mau digendong Nur atau abinya, tapi segera mencariku lagi. Badanku pegal sekali, tapi kuikuti semua kemauannya.

Terkadang entah kenapa ia jadi rewel sekali, menangis dan merajuk tahan berlama-lama. Digendong ke sini ga mau, ke sana dia teriak. Ditawari minum susu ga mau, minum air putih apalagi. Badanku letih dan pegal. Kadang tak sabar dan pengen marah, tapi aku selalu berusaha mengingat doa untuk orang tua.
"Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira.
Ya Rabb, ampunilah dosaku dan kedua orang tuaku dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil."


Alhamdulillah kamis siang Sofi terlihat agak ceria mulai mau jalan sendiri, tak lagi digendong. Pagi tadi masih agak anget, tapi setelah dzuhur hingga ashar, badannya mulai tak lagi panas. Kamis sore sudah mau main susun-susun balok sama kakak-kakaknya. Alhamdulillah, aku tak perlu membawanya ke dokter anak. Meski masih rewel dan masih pengen terus di gendong, kamis malam Sofi udah ga panas lagi.

Jika tak sabar dengan anak-anak, aku selalu mematrikan kalimat doa untuk orang tua itu ke dalam ingatanku. Aku tau kasih sayang Allah kepada hambaNya tak terbatas. Tapi doa itu membuatku tercenung. Aku tak dapat membayangkan jika Allah akan menyayangiku SEBAGAIMANA aku menyayangi anak-anakku. Betapa aku belum menjadi ibu yang shalihah, yang sabar atas semua tangisnya, yang tetap menyayanginya meski tingkah lakunya membuat kesal...
Aku masih sering marah kepada anak-anakku. Bukan karena aku tak menyayangi mereka tapi karena aku tak mampu mengontrol amarahku.

Sakitnya Sofi kemarin mungkin yang paling meletihkan dibanding ketiga kakaknya. Jika Iffah, Alif, atau Raisha sakit, mereka masih mau tidur di kasur, masih boleh menggendong dengan kain gendongan, masih mau digendong orang lain, masih boleh sambil duduk. Tapi sakitnya Sofi kemarin
betul-betul menghabiskan energiku. Tapi -karena sudah anak ke-4- emosiku sudah bisa diajak kompromi. Jika dulu masih ngga bisa kontrol amarah, sekarang -meski sedih, khawatir, dan letih- aku masih bisa menahan emosi jika ia sangat rewel.

Allah... sayangilah aku, meski aku belum menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku...


2 Maret 2015
Edisi mellow jadi orang tua