Wednesday, December 18, 2013

Lagi, tentang 3 bidadariku

Pengen cerita tentang 3 bidadari saya. Meski udah punya 4, tapi berhubung yang kecil masih 'anak bawang', jadi blom dulu yah :D

Iffah, Alif, dan Raisha. Tiga anak perempuan dengan cerita masing-masing.

Iffah, si sulung punya sifat ceria, panikan, senang bersosialisasi, tapi cuek dan

susah berkonsentrasi untuk waktu yang cukup lama. Nilainya cukup baik, dia kurang menunjukkan minat pada kegiatan belajar. Meski demikian, pelajaran yang paling disukainya adalah matematika. Paling ga suka pelajaran bahasa. "Abis susah," katanya. Jika ditawarkan mau pakai baju apa, dia akan jawab,"Terserah ummi..." Anaknya sangat pengalah. Jika benda miliknya diambil atau dirinya tersakiti, dengan mudah akan memaafkan. Kalau adik-adiknya menangis, dia akan membujuknya dengan "nanti dibelikan es krim, nanti kaka bawain apa dari sekolah, nanti kaka kasih apa..." Entah dari mana dia mempelajari cara itu :)

Alif lain lagi, meski kembar, karakternya seolah kebalikan Iffah. Alif lebih pendiam, tidak mudah dekat dengan orang baru, jarang senyum, penurut, mudah dimintai tolong (membereskan mainan misalnya), dan suka belajar. Dia tahan belajar membaca sampai berlembar-lembar (yang dia minta sendiri) sementara Iffah sudah bosan dan mengantuk pada baris kedua-nya. Nilainya bagus-bagus. Sifatnya yang perlu diubah adalah obsesifnya terhadap benda-bendanya, juga sifat suka menang sendiri-nya. Maunya begini begitu, termasuk soal pakaian. Meski sudah disiapkan pakaian misalnya, jika dia tidak suka, maka dia akan mengacuhkannya. Sulit membujuknya, dia punya kemauan/ego yang kuat. Yang bikin saya suka ga sabar sama Alif adalah sifat cengengnya. Jika sedih atau ketika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, maka dia akan menangis dengan keras. Juga ketika malam hari, Alif paling sering terbangun malam hari dan langsung menangis dengan suara kerasnya membangunkan semua orang, namun tak menjawab jika ditanya. Kecuali itu, dia anak yang manis dan patuh.

Raisha, tadinya anak bungsu, sebelum dede Shofi lahir. Bulan-bulan pertama kelahirannnya, Raisha tidak menunjukkan kecemburuan. Setelah lewat 3 bulan, Abinya mulai jadi sasaran. Sifat cengengnya menjadi-jadi, tapi hanya kepada Abinya, yang senantiasa sabar meladeni kemanjaannya. Dibanding Alif, Raisha lebih sulit bersosialisasi dan cenderung pemurung. Perlu satu semester untuk bisa membuatnya enjoy sekolah di TK. Dia tidak menangis atau minta pulang, hanya tidak bisa berbaur bermain dengan teman-temannya. Sampai sekarang (satu semester menjelang masuk SD) dia belum bisa membaca, tapi jangan ditanya jika menghafal qur'an, semangat sekali. Jika Abi minta setoran, dia akan melantunkan hafalan dengan setengah berteriak. Guru-guru di TK juga bilang, Raisha bagus hafalannya. Sementara teman-temannya sering lupa hafalan yang dulu, Raisha tidak. Semoga kelak bisa jadi yang terdepan dalam menghafal qur'an ya nak.

Dan semua punya selera yang berbeda.
Alif suka warna pink, Raisha kuning, sementara Iffah suka sisanya.(Jika yang lain telah memilih, dia akan pilih warna yang tersisa atau warna apapun yang diberikan padanya)
Iffah suka roti keju bakar, Alif suka roti cokelat tanpa dibakar, sedang Raisha suka roti cokelat-keju dan dibakar.
Jika makan nasi dengan ayam goreng, maka Alif akan minta pake kecap, Raisha minta pake saos tomat, dan Iffah ga pake apa-apa.
Semua suka telur dadar. Raisha tidak suka telur rebus, Iffah suka putihnya sedang Alif suka semua.
Iffah senang memakai sepatu yang simpel, Alif senang sepatu kets, kalau Raisha senang sepatu-sendal.

Tak pernah habis cerita tentang anak-anak.
Karena mereka semua unik, karena mereka semua spesial :)



Tuesday, December 10, 2013

Welcome Shofi

Udah lama ga ngeblog. Lamaaaa sekali...
Ini kepala mulai 'penuh'. Emang harus nulis lagi nih :D

Lapor. Setahun kemarin saya hamil dan melahirkan.
Berikut cerita lengkapnya...

Saya dan suami memang sepakat untuk 'nambah' lagi. Naluri keibuan saya juga udah nagih pengen nggendong anak lagi.

Info berikut mungkin berguna untuk beberapa orang, siapa tahu bermanfaat bagi anda.
Jadi, setelah melahirkan anak ke-3, dede Rumaisha, saya langsung KB. Dan pilihan jatuh kembali ke KB suntik, karena sepertinya badan saya cocok dengan KB jenis ini. Muka ga item-item, ASI tetep lancar, badan ga jadi gemuk. Sampe tahun kemarin itu, total sudah 5 tahun lebih saya memakai kontrasepsi ini.

Efek memakai KB ini adalah saya ga haid-haid. Haid datang kadang 3 bulan sekali, kadang 6 bulan sekali, itu pun 'sekadarnya'. Orang bilang rahimnya jadi kering. Banyak temen yang pake KB jenis ini susah kalo mau punya anak lagi. Bahkan setelah berhenti suntik,. sang 'bulan' baru datang 6-8 bulan kemudian, bahkan lebih.

Setelah tanya-tanya, saya tahu bahwa KB jenis pil membuat rahim jadi subur. Sekali lupa minum pil akan berakibat "langsung dung' (katanya iklan). Maka kemudian saya pun konsul ke bidan di slah satu klinik dekat rumah. Ketika bilang akan berhenti KB, bu bidan menyarankan untuk KB pil dulu sebelum berhenti sama sekali. Berarti cocok lah sama keinginan saya. Saya pun minum pil hingga haid tiba.

Agak mual ketika beberapa hari minum pil. Ragu antara mual karena masuk angin atau karena memang sudah hamil, saya sempat bolak balik melakukan testpack (tentu saja hasilnya negatif). Hingga kurang lebih dua pekan kemudian saya pun haid dan KB pun (baik pil maupun suntik) saya hentikan.

Kira-kira 2 bulan kemudian saya positif hamil. Tentu saja saya dan suami bahagia, termasuk kakak-kakaknya, semua menantikan kedatangannya. Hamil yang ketiga ini tak sesulit yang pertama, tapi juga tak segampang yang kedua. Mual (dan muntah) di trimester awal, tapi mereda di trimester berikutnya. Alhamdulillah hamil yang ketiga ini bisa saya lewati dengan sukses.

Hingga tiba waktu akan melahirkan. Karena sudah merasa pengalaman 2 kali melahirkan (yang alhamdulillah lancar), saya agak takabur (na'udzubillah) di kali yang ketiga ini. Allah menakdirkan lahiran yang ketiga ini adalah lahiran terlama dan tersulit dibanding 2 lahiran sebelumnya. 'Ala kulli hal, saya tetap bisa melahirakan dengan normal dan selamat.

So, welcome dede Shofiyah Mutmainah Firmansyah, demikian kami memberinya nama. Sekarang dede sudah 6 bulan. Semoga jadi mujahidah yang shalihah ya de ^_^


Flanel itu menyihirku


Tau ga, kenapa saya pengen banget nulis kali ini? Karena benda bernama kain "Flanel" ini. Kadang orang-orang menyebutkan kain felt.

Entah sejak kapan, saya begitu tergila-gila sama kain ini. Tapi saya memang suka membuat sesuatu (baca: prakarya) dengan tangan. Paling seneng pas pelajaran keterampilan, apapun itu bentuknya, entah yang dari kertas, kain-benang, apapun.

Sampai suatu kali saya menemukan kain flanel ini. Lucu banget kelihatannya, bisa dibikin apa saja. Mulai dari gantungan kunci yang kecil sampai boneka yang cukup besar. Saya langsung hunting perlengkapan flanel ke tempat-tempat grosiran dan membeli bermeter-meter kain plus berwarna-warni benang, jarum, dan kelengkapan lain.

Ketika sedang kecanduan jahit flanel itu, saya pernah membawa peralatan flanel saya ke kantor. Saat tiba waktunya istirahat, maka saya langsung mengeluarkan prakarya saya. Meja kantorpun penuh dengan tumpukan guntingan flanel lengkap dengan benang dan jarumnya. Saya masih ingat ketika itu membuat gantungan pintu dengan nama, untuk anak-anak saya tentunya. Tak disangka, teman-teman juga pengen pesan. Akhirnya saya pun harus rela membuatkan pesanan mereka.

Hobi ini agak terhenti ketika saya memutuskan kuliah lagi. Ketika itu, selain karena sibuk kuliah, saya teralihkan dengan prakarya baru, bros akrilik/manik-manik. Saya sempat bikin ratusan bros akrilik dan manik-manik, dan sempat dijual juga. Meski tak sepadan dengan kerjanya, tapi cukup puas membuat begitu banyak bros ketika itu. Namanya hobi, memang hanya mencari kepuasan batin saja. Laba, adalah hal yang kesekian.

Sekarang ketika sudah ngantor lagi (dan mulai bosan dengan bros ^_^ hehehe), saya CLBK lagi sama si flanel ini. Dalam sebuah kesempatan saya browsing flanel dan menemukan blog seorang ibu yang menggeluti bisnis flanel yang kemudian menginspirasi saya. Nama blognya nupinupi.com. Sebuah tulisannya menghapus kegalauan saya tentang bisnis flanel. Bisnis yang berdasarkan hobi, bukan produk massal. Saya menjadi lebih serius sekarang, karena setelah saya pikir-pikir lagi, sepertinya passion saya ada di si flanel ini. Mulai membicarakan hal-hal yang serius dengan suami, seperti masalah modal (baik uang maupun barang), rekrutmen karyawan, dimana akan bikin 'bengkel' flanel untuk produksi, membuat toko offline dan online, dan lain-lain. Meskipun demikian, rencana tak semudah bermimpi. Tapi saya tetap semangat.

Ngomong-ngomong soal passion, dari dulu saya terus mencari, dimana passion saya. Saya suka mengerjakan apa? Saya senang saat apa? Rene Suhardono bilang (dalam bukunya "Your Job is not Your Career"), passion itu: it is (not) what you're good at. It is what you enjoy the most! Saya selalu berbinar tiap kali melihat sesuatu yang berhubungan dengan flanel.

Beberapa minggu terakhir saya menyempatkan untuk hunting gambar yang berkaitan dengan flanel, felt, craft, dll. Dan saya merasa enjoy banget melihat gambar-gambar itu :) Mungkin ini memang passion saya.

Impian saya untuk flanel ini, saya pengen someday punya toko flanel offline dan online yang menjual kaos flanel (pesanan dengan nama), gantungan pintu (pesanan dengan nama), perlengkapan edukasi dan mainan untuk anak, juga pernak-pernik flanel lainnya. Pertama mungkin akan fokus di beberapa jenis barang saja. Dengan desain yang unik, semoga produk-produk saya bisa laku dan mendatangkan keuntungan.

Pertama, saya akan bikin desain awal sebanyak-banyaknya, produk-produk 'dummy'. Kemudian beli bahan-bahan baku di tempat termurah. Selanjutnya mencari karyawan. Tantangan terbesar adalah yang terakhir. Untuk produk homemade, kualitas produk sangat ditentukan oleh pembuat. Mungkin saya bisa menjamin kualitas produk-produk saya jika saya yang membuat sendiri produk-produknya. Tapi ngga mungkin kan membuat sekian banyak barang (apalagi dengan konsep job order alias pesanan) dalam jangka waktu sangat terbatas. Saya harus mencari rekan kerja. Semoga saya segera menemukan crafter yang rapi jahitannya dan cepat dalam bekerja. Sebenarnya saya pengen memberdayakan ibu-ibu rumah tangga dekat rumah yang masih punya waktu luang untuk nyari-nyari tambahan penghasilan. Selain menjalin hubungan silaturahim, berbagi rejeki, juga dalam rangka da'wah (siapa tau mereka mau saya ajak ngaji juga).

Oke, itu (salah satu) mimpi saya yang sekarang sedang menggebu. Saya ingin mengikatnya dengan menuliskannya. Semoga suatu hari, di blog ini, saya bisa bercerita tentang progress mimpi saya yang ini. Aaaaamiiiiin....


Wednesday, October 2, 2013

DUL

Tulisan yang mencerahkan dari Rhenald Kasali

DUL

KITA tentu tak menyangka bagaimana mungkin seorang bocah berusia 13 tahun sudah dilepas membawa mobil sendiri pada tengah malam.

Memang ia ditemani seseorang, tetapi ia juga masih terbilang bocah. Bukan mengemudi di dekat rumah dengan pengawasan orangtua, melainkan di jalan tol, menempuh jarak yang terbilang jauh. Dan apesnya, enam orang tewas, dan beberapa anak langsung menjadi yatim piatu.

Ini tentu sangat memprihatinkan. Namun setiap kali melihat bagaimana masyarakat mendidik anak-anak, saya sebenarnya sangat khawatir. Tak dapat dipungkiri, tumbuhnya kelas menengah telah menimbulkan gejolak perubahan yang sangat besar.

Namun reaksinya sangat ekstrem: Yang satu mengekang habis anak-anak dengan dogma, agama dan sekolah sehingga melahirkan anak-anak alim yang amat konservatif, yang satunya memberi materi dan servis tiada batas, sehingga menjadi amat liberal.

Di segmen atas anak-anak diberikan mobil, di bawah menuntut dibelikan sepeda motor meski usianya belum 17 tahun. Kebut-kebutan menjadi biasa, korban pun sudah sangat sering berjatuhan. Karena mereka bukan siapa-siapa maka kecelakaan dan kematian yang ditimbulkan tidak masuk dalam orbit media massa. Kematian yang ditimbulkan Dul mengirim sinyal penting bagi kita semua.

Business class

Di pesawat terbang, mungkin hanya di Indonesia, Anda bisa menyaksikan keluarga-keluarga muda membawa anak-anaknya duduk di kelas bisnis. Dua orang baby sitter, duduk sedikit di belakang, tak jauh dari batas kelas eksekutif mengawal anak-anak yang sudah bukan bayi lagi itu. Di masa liburan, bukan hal aneh menemukan keluarga menunggu di business lounge, dan naik pesawat dengan tiket termahal.

Sayang sekali, cara makan anak-anak belum dididik layaknya kelas menengah. Berteriak-teriak di antara kalangan bisnis, makan tercecer di jalan, dan di atas pesawat memperlakukan pramugari seperti pembantunya di rumah. Sebentar-sebentar bel dipijit, dan pramugari bolak-balik sibuk hanya melayani dua orang kakak-beradik yang minta segala layanan. Menjelang tiba di tujuan, orangtua baru mulai menyentuh anak-anaknya, dibantu baby sitter yang terlihat gelisah. Orangtua mereka umumnya adalah pemilik areal pertambangan, pedagang, atau ada juga seleb-seleb muda yang belakangan banyak bermunculan. Ayah dan ibu memilih tidur.

Jarang ditemui percakapan yang memotivasi, atau mengajarkan sikap hidup. Paling banter, mereka bermain video game, dari iPad yang dibawa anaknya. Padahal di luar negeri, iPad adalah alat kerja eksekutif yang dianggap barang mewah. Kesulitan orangtua tentu bukan hanya berlaku bagi kelas menengah saja. Di taman kanak-kanak yang diasuh istri saya di Rumah Perubahan, di tengah-tengah kampung di dekat Pondok Gede hal serupa juga kami temui. Belum lama ini sepasang suami-istri menitipkan anaknya untuk sekolah di tempat kami, dan setelah mengecek status sosial-ekonominya, anak itu pun diputuskan untuk diterima.

Namun ada yang menarik, setelah diobservasi, anak berusia lima tahun itu seperti belum tersentuh orangtuanya. Ia seperti rindu bermain, motorik halus dan kasarnya belum terbentuk, jauh tertinggal dari teman-teman sebayanya. Setelah dipelajari dan orangtua diajak dialog, kami menjadi benar-benar paham pergolakan apa yang tengah terjadi dalam masyarakat kita. Orangtua selalu mengatakan, “Saya bekerja keras untuk menyiapkan masa depan anak-anak. Saya juga sering mengajak mereka berlibur”. Namun, anak-anaknya menyangkal semua pemberian itu.

Faktanya, anak-anak tak terbentuk. Sikap sosialnya, termasuk modal dasar yang disebut para ahli pengembangan anak sebagai executive function dan self regulation tidak terbentuk. Orangtua hanya fokus pada kemampuan anak berhitung dan membaca. Padahal, mereka juga harus pandai mengelola “air traffic control” yang ada dalam pikiran anak-anaknya agar kelak mampu menjadi insan mandiri yang bertanggung jawab.

Executive function

Anak-anak kita menghadapi dunia baru yang benar-benar berbeda dengan kita, sehingga mudah sekali “berpaling” dari hal-hal rutin seperti sekolah dan belajar. Mereka hidup dalam dunia yang penuh dengan “gangguan” (distraction) seperti sosial media dan telekomunikasi yang saling bersahutan. Kita semua akan sangat kesulitan menjaga dan membimbing anak-anak kita bila modal dasar executive function tidak ditanam sejak dini. Apalagi bila sekolah hanya fokus pada angka dan huruf, seakan-akan pengetahuan dan rumus adalah segala-galanya.

Menurut berita yang saya baca, Dul ternyata sudah sejak Juni lalu tak sekolah. Saya tak tahu tentang kebenaran berita ini. Tetapi Minggu dini hari dia masih mengendarai mobil, mengantar pacar lewat jalan tol, tentu mengindikasikan anak itu (ini juga bisa terjadi pada anak-anak kita, bukan?) telah hidup dalam abad distraction, sulit untuk fokus sekolah dan belajar. Studi-studi tentang executive function dalam child development antara lain banyak bisa kita temui dalam buku dan video yang diberikan psikolog-psikolog terkemuka, seperti Ellen Galinsky dan Debora Philip.

Mereka menemukan, di abad ini, anak-anak perlu mendapat fondasi hidup yang jauh lebih penting dari sekadar tahu angka dan huruf. Anak-anak itu perlu dilatih tiga hal: Working memory, Inhibitory control, dan Mental flexibility. Ketiga hal itulah yang akan membentuk generasi emas yang bertanggung jawab dan produktif. Mereka sedari dini perlu dibentuk cara bekerja yang efektif, fokus, tahu dan bekerja dengan aturan, sikap positif terhadap orang lain, mengatasi ketidaknyamanan, dan permintaan yang beragam, serta cara mengelola informasi yang datang bertubi-tubi.

Pikiran mereka dapat diibaratkan menara Air Traffic Control di Bandara Cengkareng dengan ratusan pesawat yang datang dan pergi, semua berebut perhatian dengan sejuta masalah yang harus direspons cepat. Maka itu, masalah Dul bukanlah sekadar masalah Ahmad Dhani yang menjadi seleb, atau masalah keluarga broken home. Ini adalah masalah kita bersama, masalah yang dihadapi anak-anak kita. Dari kita yang tidak fokus dan sibuk mencari uang atau mengurus orang lain. Kita yang dibentuk oleh sistem pendidikan model revolusi industri yang masih berpikir cara lama.

Ditambah guru-guru yang juga banyak tidak fokus, tidak paham problem yang dihadapi generasi baru, yang punya ukuran kecerdasan menurut versi mereka sendiri, dalam model persekolahan yang materialistis dan old fashion. Sekolah yang menjenuhkan dan tidak membuka fondasi yang diperlukan anak-anak sehingga mereka lari dari rutinitas.

Ini pun sama masalahnya dengan orangtua yang lari dari dunia nyata dan berlindung dalam benteng-benteng dogma dengan menyembunyikan anak dari dunia riil ke tangan kaum konservatif yang menjadikan anak hidup dalam dunia yang gelap dan steril. Anak-anak kita perlu pendekatan baru untuk menjelajahi dunia baru. Mereka perlu dilatih keterampilan-keterampilan hidup, fokus dan selfregulations, menjelajahi hidup dalam aturan, yang ditanam sedari usia dini.