Mungkin Anda bertanya-tanya dalam hati, apakah salah menjadi seorang ibu bekerja? Apa menjadi working mother itu buruk?
Jika
pilihan telah dibuat, keputusan telah dilaksanakan, maka mungkin ini
bukan lagi masalah benar atau salah, tetapi lebih ke konsekuensi dan
tanggung jawab.
Saya
yakin –sebagaimana dulu juga halnya saya- para ibu bekerja memilih
untuk tetap bekerja tentu dengan pertimbangan yang matang, dan tentunya
dengan persetujuan dan dukungan penuh dari suami.
Alasannya
bisa macam-macam. Bisa karena tuntutan ekonomi, biar bisa bantuin
suami, karena beban hidup juga semakin tinggi. Sebagian besar teman saya
yang lulusan STAN juga ‘terpaksa’ jadi PNS karena dulu kuliah disana.
Kuliah gratis, harapan orang tua yang sangat besar, juga karena ikatan
dinas, maka harus berpikir ratusan kali jika ingin eksodus (keluar dari
PNS). Juga alasan-alasan lain yang tiap-tiap orang pasti berbeda.
Perlu
tenaga dan pikiran ekstra bagi seorang ibu bekerja, tentu karena
statusnya sebagai wanita karir tidak menghilangkan tanggung jawabnya
terhadap pekerjaan rumah tangga dan pendidikan anak. Hanya
saja,pekerjaan-pekerjaan itu tidak dilakukannya dengan tangannya
sendiri. Mungkin di delegasikan kepada khadimat/pembantu, lebih
beruntung jika bisa menitipkan anak-anak kepada orang tua atau saudara.
Juga
kesabaran ekstra untuk ibu bekerja yang meskipun harus berpisah namun
mampu memberikan ASI eksklusif kepada si kecil yang baru lahir sudah
harus ditinggal. Sungguh bukan perkara mudah, harus berpisah dengan si
buah hati yang baru saja lahir. Belum lagi proses memerah ASI di kantor
sebagai bekal esok hari demi agar si kecil mendapatkan ASI alih-alih
susu formula yang jelas tidak sebanding kuailtasnya. Saya yakin, hanya
ibu luar biasa yang sanggup melakukannya.
Banyak
trips dan trik supaya semua bisa berjalan sebagaimana mestinya. Soal
masakan misalnya, ‘asisten’ bisa disuruh memotong, membersihkan, dsb,
pas masaknya si ibu deh yang ngerjain, jangan lupa bumbu doa dan
cintanya ^_^.
Sering
menelpon ke rumah, ngobrol dengan anak-anak sekaligus memantau apa yang
terjadi di rumah, supaya anak-anak tidak ‘merasa’ kehilangan ibunya.
‘Mencuri’
waktu yang tersedia, seperti menyempatkan memandikan anak di pagi hari,
kalo sempet sarapan bersama, bermain bersama sepulang kerja, juga makan
malam, mengantarnya tidur sambil membacakan dongeng dan mengelus
kepalanya, mengantar-jemput sekolah di akhir pekan, dsb. Waktu-waktu
sempit, namun berharga.
Usahakan
jangan memilah antara kantor dan rumah. Jangan jadikan rumah sebagai
tenaga ‘sisa’ setelah lelah seharian di kantor, tapi jadikan keduanya
sama berharganya. (Toh saat sampai di rumah, dengan penuh peluh dan
letih, insyaAllah akan hilang setelah mendengarkan celoteh riang dan
cerita anak-anak, ya kan ibu-ibu ? ) Jika suatu kali keluarga
membutuhkan, maka jangan merasa bersalah jika harus ijin dari kantor.
Toh tidak setiap hari anak/suami sakit.
Perasaan
bersalah adalah dilemma yang paling sering dirasakan ibu bekerja.
Bersalah karena telah meninggalkan anak di rumah. Bukan tidak boleh,
tapi jangan sampai perasaan bersalah ini malah mengganggu kinerja.
Profesinalisme di butuhkan di kedua tempat itu, rumah dan kantor secara
seimbang.
Terlepas
dari itu semua, baik full time mother maupun working mother, keduanya
tidak akan bisa memaksimalkan perannya jika tanpa ilmu dan iman. Baik
itu ilmu agama, ilmu parenting, ilmu kesehatan, juga ilmu pengetahuan,
yang merupakan modal utama dan mendidik anak-anaknya, cikal bakal
mujahid masa depan. Banyak ibu di rumah yang ternyata tidak mengerti
cara menghadapi anaknya padahal punya banyak waktu. Banyak juga ibu
bekerja yang akhirnya harus bersedih karena ternyata anaknya lebih dekat
dan sayang dengan pembantu dibanding dirinya sendiri, ibu kandungnya,
karena tidak menjaga kedekatan emosi dengan anak-anaknya.
Dan
akhirnya, setiap ibu punya senjata yang sama, yaitu doa. Hanya doa ibu
yang tidak terhijab. Dimanapun anda berada wahai ibu, berdoalah untuk si
buah hati. Titipkan mereka pada Yang Maha Menjaga, Maha Melihat, lagi
Maha Berkehendak.
“… Jagalah
Allah, maka pasti Allah menjagamu, jagalah Allah pasti kau akan
menjumpai-Nya dihadapanmu. Apabila engkau meminta maka mintalah kepada
Allah dan jika engkau meminta pertolongan maka mintalah pertolongan
kepada Allah….”(HR. Tirmidzi)
Bertawasul
dengan amal baik kita, baik di kantor maupun di masyarakat, untuk
kebaikan anak-anak. Berbuat baik dimana saja, dengan atasan dan rekan
sejawat, apalagi dengan kenalan yang relative lebih banyak dibanding ibu
di rumah, maka ladang amal juga terbentang luas. Jangan sampai waktu
yang telah dikorbankan tidak berjumpa dengan anak-anak tidak
dimanfaatkan dengan baik, malah sibuk menyesali keadaan dan menyalahkan
entah siapa.
Maka
dari itu wahai ibu, apapun keputusan Anda, menjadi ibu di rumah atau
ibu bekerja, pastikan Anda memiliki kesiapan dan ketenangan batin untuk
melakukan yang terbaik (seperti yang dikatakan ibu Lita). Sebab tidak semua ibu bekerja siap menjadi full time mother, begitu pun sebaliknya.
Dan
apapun keputusan Anda, tak ada satu alasanpun untuk tidak memberikan
yang terbaik untuk buah hati. Dan saya percaya, kita bisa melakukannya,
sebab Allah pasti mengamanahkan sesuatu yang Dia yakin kita mampu
menjaga amanahNya dengan baik.
La tahzan, innallaha ma’ana…
Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment
Jazakumullah khairan katsira...
Makasih banyak ya, sudah meninggalkan jejak di blog ini.
Have a nice day ^^