Thursday, August 30, 2012

Ahlan wa Sahlan ya Rumaisha!

3 bulan sudah usia mujahidah ketigaku. Sekarang bidadariku sudah bisa tertawa, sudah bisa diajak ngobrol juga. 

10 April 2008.
Beberapa hari yang lalu perutku sempet mules, rasanya sakit sekali, persis seperti mau melahirkan. Awalnya panik, tapi segera kuatur napas, tenangkan pikiran. Tak sampai 5 menit sakit berkurang, kemudian hilang. Kutunggu berjam-jam kemudian tidak sakit lagi. Ternyata his (kontraksi) palsu –mungkin karena barusan aku nyuci baju tanpa mesin cuci.

Hari ini seharian di celana ada noda coklat (dulu waktu Iffah-Alif ga kaya’ gitu. Belakangan baru tau kalo ternyata itu memang tanda-tanda mau melahirkan). Jam setengah 9 sehabis makan malam bareng suami, terasa seperti pecah ketuban. Langsung kuberitahu si abi. Untungnya pecah ketubannya ngga langsung banyak. Aku langsung ganti baju, trus tiduran supaya air ketubannya tidak keluar, sementara abi beres-beres (barang-barang yang harus dibawa ke RS). 

Sekitar jam setengah 10 kami sampai di RS. Setelah itu perawat yang ada di ruang bersalin menyuruhku duduk di tempat tidur. Sempat menunggu agak lama –dengan baju basah penuh air ketuban- barulah aku dibawa ke ruang USG, setelah sebelumnya ditanyai dan diambil darahnya oleh perawat dan dokter yang sedang co-ass. Alhamdulillah dokter jaganya perempuan, orangnya cantik, lembut,  dan ramah sekali. Katanya bayinya masih sehat, air ketubannya masih bening dan masih cukup banyak. Setelah itu dipasangkan alat (aku lupa namanya) untuk mendengarkan denyut jantung dan pergerakan janinku (yang hasil print-annya seperti pencatat gempa alis seismograf). 

Ada hal lucu waktu itu. Jadi waktu pengambilan darah pertama kali oleh seorang dokter co-ass, ternyata darah yang dibutuhkan kurang. Akhirnya –setelah meminta maaf- darahku diambil lagi oleh temannya sesama co-ass di tempat yang berbeda. Dengan pasrah kuberikan tanganku untuk disuntik sekali lagi. Kejadian terulang lagi saat pencatatan denyut jantung memakai alat seperti seismograf tadi. Setelah semua selesai, ternyata sang dokter bilang bahwa waktunya kurang, harus ditambah 5 menit lagi. Akhirnya dengan menyesal si calon dokter ini –bukan co-ass yang tadi- memasangkan alat tsb lagi ke perutku. Ya, memang begitu resiko kalo menggunakan jasa RS yang bekerja sama dengan institusi pendidikan, pasti penuh dengan ‘calon-calon’ perawat dan dokter yang sedang co-ass yang tentunya tidak sepengalaman perawat/dokter aslinya.

Setelah semua pemeriksaan awal selesai, akhirnya aku di suruh masuk ke ruang bersalin, dan ganti baju yang basah penuh ari ketuban. Dokternya bilang udah bukaan 2. Belum terasa sakit waktu itu…

 11 April 2008
Jam 12-an kontraksinya mulai terasa.
Jam 1-an perutku mules sekitar 15-10 menit sekali (waduh, kaya’nya diinduksi nih…) Si abi selalu ada di sisi, nemenin ngobrol, nyuapin makan apa yang bisa dimakan (persiapan tenaga buat lahiran), menyerahkan dengan pasrah tangannya untuk diremas (dengan kuat sampe sakit) kalo kontraksinya mulai lagi…

Jam 2-an, kaya’nya udah 5 menit sekali. Baru ngatur nafas bentar udah kontraksi lagi. MasyaAllah… Sholeh sudah ngga sabar pengen ngeliat umminya. “Ya Allah, aku ridho atas sakit ini, asal Engkau ridho padaku ya Allah… Ampuni segala dosaku ya Allah…”

Jam 3, susternya meriksa karena aku sudah tak tahan lagi. Ku tahan sakit dengan menangis. “Sudah bukaan 7”, kata susternya. “Mungkin 2 atau 3 jam lagi keluar.” 2-3 jam lagi? Sakit sekali ya Allah… Ku kuatkan diriku. 

3.15, tak tahan sakitnya aku menangis. Kupegang tiang penopang botol infus sekuat-kuatnya. Terdengar suara ‘byur’ seperti kantong plastik penuh air pecah jatuh di lantai. Ya Allah… air ketuban sudah pecah. Segera si Abi memanggil suster dan dokter jaga. 

3.30, adiknya si kembar lahir. Hanya dengan 3-4 kali mengejan si dede keluar dengan tangis pertamanya. Setelah di potong ari-arinya dan dibersihkan cairan yang ada di mulut dan hidungnya, si dede langsung di tengkurapkan di dadaku. Biar nyari ASI sendiri, kata susternya. Masih berlumur ari ketuban si dede udah langsung mimik ASI. Beberapa saat kemudian barulah bayiku di bawa untuk dimandikan dan ditimbang, juga dinilai APGARnya  (Alhamdulillah nilainya 9/10)

Tidak seperti waktu lahiran si kembar dimana rahimku langsung bersih, sekarang rahimku masih banyak darahnya. Bahkan sampai jam 6 pagi, suster dan dokternya masih membersihkan rahimku yang darahnya belum keluar semua. Sakit sekali waktu dokternya ‘mengorek-ngorek’ rahimku. Tidak bisa langsung istirahat, padahal rasanya udah capeeek sekali…

Pagi-pagi akhirnya dokter bilang udah ngga ada perdarahan. Alhamdulillah…
Badan rasanya capeeeek sekali. Kucoba untuk tidur, kupejamkan mata, tapi ngga bisa. Terlalu capek. 

Si abi pulang buat ngambil perlengkapan bayi yang kemaren belum sempat dibawa. Suntuk, kemudian ku telpon adikku di Payakumbuh, nyari temen buat ngobrol…
Bahagia, senang, capek, excited, beban (amanah), takut, khawatir, semua perasaan campur aduk.

Setelah bertemu dengannya untuk yang kedua kalinya (ah… ummi udah kangen sekali nak…) dan menggendongnya untuk pertama kalinya, alhamdulillah dia cantik sekali, sehat (gemuk sekali karena beratnya 4 kg!), dan sempurna (lengkap fisik dan panca indranya).

Kami beri namanya RUMAISHA HANIFAH FIRMANSYAH.


Jakarta, Juli 2008

No comments:

Post a Comment

Jazakumullah khairan katsira...
Makasih banyak ya, sudah meninggalkan jejak di blog ini.
Have a nice day ^^