Thursday, September 6, 2012

Membangun Persepsi

Jum'at kemarin saya kuliah gabungan sama kelas sebelah. Karena dosen kami sama, mungkin buat efisiensi waktu, sang dosen menggabung dua kelas yang diajarnya. Hampir semua penghuni kelas sebelah saya ngga kenal, nama pun tidak. Mereka rata-rata adik kelas 3 tahun di bawah saya (emang paling tua satu angkatan... Hiks!). Berkenalan dengan seorang teman yang duduk di depan, dia pun berkomentar,"Udah siap dibantai, mba?"

Well, memang dosen kami yang satu ini agak unik. Lulusan S2 Amerika ini punya kebiasaan suka 'membantai' mahasiswanya. Bukan marah, hanya nanya mendadak, dan apabila ngga bisa jawab, segera akan terdengar komentar-komentar agak sinis dari si Bapak. Ngga ada yang suka duduk di depan (padahal si Bapak nanyanya random koq, ngga suka nembak yang di depan aja).

Sebelum pertemuan pertama kami dalam kelas perkuliahan, saya udah survey ke beberapa orang (kakak kelas or yang pernah diajar oleh dosen tersebut). Istilah kerennya, membangun persepsi. Saya melakukannya untuk semua dosen. Ada yang baik, ada yang biasa-biasa aja, ada yang suka curhat, de el el. Untuk dosen yang satu ini, seorang teman mengaku tangannya berkeringat sepanjang pelajaran, bahkan udah deg-degan sebelum Pak Dosen masuk ke kelas (pas lagi nunggu dosen). Teman yang lain ngasih tau bahwa si Bapak suka membantai. Kata inilah yang paling sering digunakan orang-orang.

Bahkan setelah setengah semester kami lalui, saya ngga menyangka masih akan mendengar pertanyaan ini. "Udah siap dibantai, Mba?" Kebetulan saya orang yang memakai pendekatan "pembuktian terbalik", ketika saya diberi tau seseorang yang belum saya temui begini-begitu (yang jelek-jelek), maka saya selalu berniat membuktikan bahwa orang itu sebenarnya tidak demikian. Begitu juga dengan dosen satu ini. Dan saya berhasil membuktikan bahwa Pak Dosen enak sekali ngajarnya, tidak pernah saya stress, bahkan saya enjoy sekali. Kalo boleh dibilang, mungkin mata kuliah yang diajarnya adalah mata kuliah yang paling saya mengerti dibanding mata kuliah lain.

Membangun persepsi itu penting menurut saya sebelum kita menjalani sesuatu. Ibarat rambu, dia memberi tahu di depan akan ada apa. Begitu nama saya keluar sebagai salah satu yang lulus D4 STAN kemarin, saya langsung nanya-nanya ke mantan-mantan D4 atau yang sekarang sedang D4, apa dan bagaimana kuliah D4 yang tentunya sangat berbeda dengan ketika D3. Tentu saja saya mendapatkan jawaban yang berbeda-beda. Sebagian bilang, enak banyak liburnya, ga enak banyak tugasnya (nyampe rumah langsung nyalain komputer buat ngerjain tugas), dan sebagainya. Minimal dalam benak saya sudah tergambar -meskipun mungkin baru sebagian kecil- apa yang akan saya jalani nantinya. Kesiapan mental, itu yang dicari. Supaya kita siap menghadapi, pun ketika gambaran yang sudah ada ternyata tidak sama dengan yang terjadi kemudian.

Begitu juga dengan da'wah. Ketika saya pertama kali bergabung dengan da'wah, saya diberi gambaran bahwa da'wah itu jalan yang panjang, terjal, penuh onak dan duri (saya rasa sebagian besar kita diberi gambaran seperti ini. Betul?). Tapi tidak menurut Ust. Ahmad Ar-Rasyid. Dalam bukunya 'Hambatan di Jalan Da'wah', ustadz menggambarkan bahwa jalan da'wah adalah jalan yang luas dan tenang, hanya saja dalam perjalanan kadang ada rambu-rambu. (Ada yang pernah diberi tahu seperti ini?)

Mendapat gambaran yang berbeda tentang sebuah jalan yang sama adalah wajar, tergantung pandangan orang yang ditanya. Orang yang baru menjalani sebagian jalan, tentu akan berbeda pendapatnya dengan orang yang sudah menjalani semuanya, bahkan berkali-kali melaluinya. Bertanya pada orang yang tepat adalah kuncinya.

Tidak salah menggambarkan jalan yang 'susah' kepada calon yang terbiasa 'enak', dengan maksud agar kita tidak kaget, kecewa, mundur, ketika yang ditemui adalah yang ngga enak mlulu, karena kita sudah siap dengan keadaan itu sebelumnya, karena kita sudah diberi gambaran akan ke-tidakenak-an itu sebelumnya. Orang yang belum 'matang' apalagi masih new comer, biasanya akan diberi gambaran yang jelek-jelek dulu. Ketika dia memutuskan akan ikut dalam jalan ini, maka dia seharusnya siap dengan yang 'ngga enak' tadi.

Saya bersyukur mendapatkan 'pandangan lain' ketika saya sudah sekian tahun menjalani jalan ini. Persepsi saya juga berubah ketika mendengar ungkapan Ust. Rasyid di atas. Dalam hati saya membenarkan, sesungguhnya jalan ini luas dan tenang, hanya beberapa kali ada rambu. Dengan penggambaran seperti ini saya bisa merasakan ni'matnya berda'wah, meski saya belum ada apa-apanya dibanding dengan ikhwah yang lain, mungkin juga pembaca sekalian. Dengan pernyataan tadi, saya teringat betapa Allah begitu menyayangi saya sehingga berkenan memasukkan saya ke dalam kelompok orang-orang yang memilih jalan ini. Meski di awal saya memang menemukan onak dan duri, namun di sebagian besar perjalanan, sesungguhnya ada jalan yang luas dan tenang itu. Indahnya ukhuwah, bertambahnya keimanan, khusyu'nya shalat, air mata yang jatuh karena takut kepada Allah, cinta kepada saudara-saudara seiman, yang -mungkin- tidak akan saya temui jika saya tidak bergabung dengan jalan ini. Onak dan duri hanya sebagian kecil dari perjalanan, dibanding keni'matan ketika ada orang lain yang berubah ke arah yang lebih baik, ketika da'wah mencapai kemenangan, ketika titik-titik keshalihan semakin membesar dalam masyarakat.

Ah, saya lagi ngomongin apa sih?

No comments:

Post a Comment

Jazakumullah khairan katsira...
Makasih banyak ya, sudah meninggalkan jejak di blog ini.
Have a nice day ^^