Monday, December 22, 2014

Cita-cita Iffah

Punya anak itu ngga gampang. Dengan karakter masing-masing yang pastinya berbeda, orang tua kadang terjebak dengan ekspektasi mereka terhadap anak-anaknya.

Saya berupaya sekuat tenaga agar tidak menjadi orang tua yang otoriter, mengarahkan tidak memaksa, memotivasi tidak menyuruh.

Tentu saya punya cita-cita yang ga kesampaian. Saya pengen jadi enterpreneur, saya juga pengen jadi guru, saya pengen jadi hafizah, pengen jadi ustazah (cita-cita koq banyak banget ya? hehehe). Dan seperti yang sering kita dengar, banyak orang tua yang cita-citanya ga kesampaian cenderung memaksa anak-anaknya menjadi apa yang mereka mau. Betapa banyak anak-anak yang mengorbankan cita-citanya demi mewujudkan cita-cita orang tuanya, meski biasanya ortu beralasan 'itu demi kebaikan kamu.'

Jadi inget film "3 Idiots", filmnya Aamir Khan yang berkisah tentang 3 mahasiswa dengan kisahnya masing-masing (yang tentu bukan mahasiswa idiot, bahkan sebaliknya). Salah satu tokohnya kuliah di jurusan teknik demi mewujudkan cita-cita ayahnya, sementara dia sendiri tergila-gila dengan fotografi (orang tua mana di jaman sekarang yang bakalan ngijinin anaknya yang hobi foto untuk kemudian berkarier di fotografi? Mungkin ga ada). Tapi di film itu, ortunya akhirnya mengijinkan anaknya berhenti kuliah untuk serius di fotografi (happy ending lah).

Ketiga anak saya unik, mereka semua berbeda. Hanya saja kali ini saya pengen khusus bercerita tentang Iffah.

Iffah bukan tipe anak yang seneng belajar baca tulis. Sampai selesai kelas 1, membacanya masih belum lancar. Pun belajar Iqro'-nya (huruf hijaiyah), sama lamanya. Di kelas 3 sekarang, ketika Alif sudah lama beralih ke (baca) Alqur'an (tidak lagi ngaji Iqro'), Iffah masih berjuang di Iqro' 4, padahal Icha yang masih kelas 1 sudah akan menyelesaikan Iqro' 3-nya hanya dalam 1 semester.

Kalo belajar mau ujian juga... hadeeeeuh... susah banget. Salah emaknya sih klo yang ini, harusnya dari awal dicicil dikit-dikit, bukan SKS (sistem kebut semalam). Alif dan Icha sih oke aja, sehari sebelum ujian belajar bahan 1 semester, cuma nge-refresh aja.

Kesulitan terbesar Iffah ada di bahasa. Kayaknya Iffah ga punya 'language intelligence', jadi ngafalin sepatu itu bahasa inggrisnya shoes susah banget. Meski udah 10 kali ulang, besoknya ditanya akan lupa lagi. Koleksi kata-katanya (baik bahasa Inggris atau bahasa Arab) minim banget. Salah satu usaha yang saya lakukan -sesuai instruksi Ms Wina, teacher saya ketika pre-departure training- adalah membuat kata dengan gambar dan ditempel di tempat-tempat yang mudah terlihat dan terus diulang tiap hari. Proyek liburan kali ini adalah menggambar. Saya sudah membeli 1 rim kertas. Di kertas yang masih kosong itu saya tuliskan kata dalam bahasa Inggris (misalnya book, shoes, bag, etc) di bagian bawah kemudian anak-anak saya tugaskan untuk menggambar dan mewarnai gambar itu. Setelah selesai, kertas saya tempelkan di dinding kamar. Malam hari sebelum tidur, saya suruh (terutama) Iffah untuk membaca dan membuat kalimat menggunakan kata sesuai gambar. Well, I hope it will help her...

Kesukaannya memang menggambar. Ketika menirukan gambar, hasilnya bisa mirip banget. Selain menggambar, dia juga kreatif membentuk apapun menjadi bentuk lain, bahkan yang ga pernah terpikir oleh kita (saya maksudnya). Buku-buku di rak misalnya, Alif mungkin akan membacanya, tapi Iffah bisa membangun istana besar dengan buku-buku itu. Bantal, bagi Alif hanya sebagai teman tidur, tapi Iffah bisa bikin tenda dalam rumah menggunakan bantal dan selimut. Kertas? Hanya akan ditulisi atau digambari oleh Alif, tapi Iffah bisa bikin dompet, keranjang, dan banyak hal lagi dari kertas-kertas itu.

Kalo ditanya mau jadi apa, dulu (ketika mereka masih bingung mau jadi apa) saya suka memprovokasi anak-anak supaya mau jadi ustadzah (ngajar baca qur'an atau ngisi pengajian, mengajarkan dan mendekatkan ummat kepada Allah, RasulNya dan Alqur'an). Tapi sekarang mereka sudah bisa menentukan sendiri apa maunya (meski masih sering berubah-ubah).

Saya sempet bingung juga, Iffah ini klo dah besar mau jadi apa ya?
Dia lemah di pelajaran, apalagi di bahasa, matematika juga biasa saja, cenderung ga teliti, juga ga rajin. Kalo disuruh belajar tuh kayaknya maleeees banget... Tapi dia sangat bersemangat klo disuruh mengkreasikan sesuatu.
Sampai suatu malam menjelang tidur, saya bertanya kepada Iffah, "Iffah kalo dah besar mau jadi apa?"
Iffah pun menjawab dengan gayanya yang cool seperti biasa,"Mau jadi arsitek."

Okay... Case closed!

Semoga kamu bisa mencapai apa yang kamu citakan ya nak... (Entah dari mana dia dapet ide itu... whatever)
Umi akan mendukung apapun cita-citamu sepanjang itu bermanfaat bagi dunia dan akhiratmu.


22 Desember 2014

Terima raport

Sabtu kemarin, anak-anak terima raport. Seperti biasa, saya ga matok ekspektasi. Nilainya berapapun, ranking berapapun, yang penting mereka enjoy di sekolah...

Perhentian pertama, kelas 1B, kelasnya kaka Rumaisha. Ketemu sama Bu Johan dan Bu Dona. Keduanya pernah jadi guru si kembar, jadi sudah akrab. Testimoni bu guru, Icha ga ada masalah akademik, hanya pedenya yang masih kurang. 

Perhentian kedua, kelas 3B, kaka Alifah. Bu Ami juga pernah ngajar Afifah, jadi udah pernah ketemu juga sebelumnya. Cuma ngelirik sebentar kertas berwarna biru dengan angka 9 dimana-mana. Testimoni bu guru, nilainya bagus-bagus, no problem, excellent!

Finally, kelas 3A, kaka Afifah. Nah, kali ini gurunya baru saya kenal. Baru sadar saya ga pernah ke sekolah sebelumnya, jadi ini adalah kali pertama saya ketemu Bu Rani dan Bu Endang. Sesuai dugaan saya, pelajaran Keterampilan mendapat nilai tertinggi. Nilainya terpaut jauh dari kembarannya dan tentu saja juga rankingnya. 

Acara terima raport adalah waktunya saya berkomunikasi dengan guru-guru. Ritual mengantri sekian lama hanya untuk dapat berbicara dengan bu guru (yang jarang saya temui karena saya jarang ke sekolah) sangat saya nikmati. Meski kadang sebel sama wali murid yang ngobrol panjang lebar tak mempedulikan antrian di belakangnya, tapi saya memahami, terima raport memang ajang 'konfirmasi' dan saling dukung ortu dan guru. Tempat kami saling share dan mungkin berbagi tips untuk yang lebih baik bagi anak-anak, terutama jika ada masalah dalam proses pembelajaran.

Saya menghindari pertanyaan mengenai nilai. Itu hak prerogatif guru. Saya hanya ingin memastikan mereka senang, menikmati proses belajar, sosialisasi oke dengan teman dan guru, sopan dan disiplin. Semoga nilai yang tertera di buku tidak mengubah cara pandang saya terhadap mereka. 

Sebagus atau sejelek apapun angka yang ada disana, saya harus pastikan mereka tetap punya semangat yang tinggi meraih apa yang mereka citakan. Saya harus bisa menemukan 'berlian' yang ada dalam diri mereka, mengoptimalkannya, dan berupaya agar potensi itu dapat bermanfaat bagi mereka dan ummat. Ah, susahnya jadi orang tua...
Semoga saya bisa mengemban amanah yang super berat ini, membesarkan mereka hingga menjadi hamba dan manusia yang sukses dunia akhirat.... Aaaamiiiiin....


22 Desember 2014


Monday, November 17, 2014

Defining Moment

Hampir 5 bulan saya mengikuti diklat persiapan ke luar negeri di kampus STAN. Dua pekan lagi saya akan menyelesaikan diklat ini, and then I'm on my own.

Banyak yang saya pikirkan, banyak yang telah terjadi, banyak juga yang telah berubah. 
Selama di asrama, jangan pikir saya selalu bersemangat. Ada kalanya, saya merasa sedih, gundah, takut, dan gamang. Menerima beasiswa ini kayak makan kaviar (mungkin), begitu masuk mulut -meski ga suka rasanya- harus dimakan karena sayang harganya mahal banget. Saya ga punya pilihan untuk mundur, sekalinya masuk, harus terima segala konsekuensinya. 

Nginap di asrama dan pulang 'hanya' dua kali seminggu itu berat buat saya. Saya punya 4 anak perempuan dan salah satunya masih bayi. Masih setahun umurnya tapi saya terpaksa menyapihnya. Saya juga harus merepotkan orang tua saya, yang saya minta untuk tinggal bersama saya, yang kemudian menjadi 'pengganti' saya di rumah. Setiap hari, bukan saya yang membangunkan mereka, yang menyiapkan bekal mereka, bukan saya juga yang nemenin mereka bikin pe-er, membacakan bed time stories, menuntun mereka baca doa sebelum tidur, menidurkan si baby, atau pergi ke sekolah ketika ada acara. Hal ini sering kali membuat saya sedih, terutama ketika tahu mereka -suatu kali- sakit, dan saya tidak ada di sisi mereka...

Ketika sedih saya sering berpikir, apakah ini worthed? Apakah kuliah ke luar negeri ini benar-benar keinginan saya demi mereka? Ataukah ini cuma mimpi egois saya untuk bisa dikenal sebagai lulusan luar negeri, demi karir, jabatan, uang, popularitas, ingin berbeda, ingin dikenal dan diingat sebagai seorang yang sukses, dll? Sukses bagi siapa? Sukses apa? 

Pikiran-pikiran ini sering membuat saya ingin menyerah. Anak sakit dan saya tidak bisa pulang, yang ada di pikiran saya hanya ingin bersama mereka di rumah, jadi ibu rumah tangga yang baik, yang penting saya selalu ada buat mereka. Lepaskan saja semua ini, tak ada yang lebih penting bagi saya kecuali anak-anak! Lebih baik saya di rumah saja, bisa masak untuk mereka, nganter mereka sekolah, ada kapan saja untuk mereka... 

...

(ketika sampai titik ini, komunikasi dengan suami, kadang juga beberapa teman, selalu membantu...)

Kemudian saya mencoba berpikir apa dibalik semua ini. 

Allah lah yang Maha Menentukan, dan kita hambaNya tidak lain hanya melakukan semua kehendakNya. Allah yang menakdirkan nama saya ada di dalam daftar penerima beasiswa ini, tentu Allah juga telah menggariskan juga jalan dan cara menuju kesana. Allah juga yang telah memberikan segala kemudahan. Mama dan papa sudah pensiun dan ga keberatan untuk tinggal di rumah saya, dengan senang hati berdekatan dengan cucu-cucunya dan ngurusin anak-anak (dan semuanya). Rumah yang dekat dari asrama, jadi bisa pulang dua kali seminggu (atau kapan saja jika keadaan darurat, hanya butuh sekitar 60 menit naik angkot). Beberapa teman ada yang dari semarang, makassar, surabaya, dll yang hanya bisa pulang dua pekan bahkan dua bulan sekali dengan ongkos sendiri. Ah, betapa beruntungnya saya...

Kuliah di luar negeri juga berarti kesempatan bagi saya untuk bisa mengajak anak-anak merasakan tinggal di negeri orang. Pengalaman yang tak tergantikan dan -mungkin- sekali seumur hidup. Saya ga mungkin ngajak mereka jalan-jalan ke luar negeri karena jika punya uang pun saya akan gunakan untuk yang lain, dan kali ini bahkan gratis! Banyak hal yang bisa diambil anak-anak ketika berinteraksi dengan orang asing dan hidup di tempat asing. Bahasa -tentu saja- penting untuk menghadapi globalisasi, keberanian menghadapi sesuatu yang baru, latihan beradaptasi, kebiasaan (attitude) orang asing yang bermanfaat, petualangan yang mungkin ga bisa didapat di Indonesia, dan banyak lagi. Ga banyak orang diberi kesempatan seperti yang sedang saya alami sekarang...

Saya juga ingin anak-anak mencintai ilmu dan ini adalah salah satu kesempatan saya untuk memberitahu dengan efektif bagaimana sejatinya seorang yang mengejar cita-citanya. Saya ingin anak-anak semangat belajar dan pada akhirnya kelak jika saatnya tiba, mereka tidak akan ragu melanglang jauh mengejar ilmu dan mewujudkan cita-cita mulianya.

Kemudian saya sampai pada kesimpulan bahwa ini adalah takdir saya. Allah menakdirkan apa yang baik untuk saya menurutNya, dan saya harus percaya bahwa ini memang baik untuk saya dan keluarga saya. Allah juga telah membentangkan banyak sekali kemudahan untuk saya dan keluarga atas ketentuanNya ini. Maka kenapa kemudian saya harus mundur dan menyerah?

Takdir saya berada di jalan ini sekarang, dan ini yang terbaik. Takdir lain bukan untuk saya, dan saya ga perlu mengkhawatirkan apa tidak terjadi bagi saya. Saya hanya perlu menjalani peran ini dengan sebaik-baiknya hingga Allah menunjukkan hikmahNya bagi saya dan orang-orang yang saya sayangi...


Bintaro, 17 November 2014
Di tengah rinai hujan yang menginspirasi

Thursday, September 18, 2014

Pre-Departure Training

Sudah 2,5 bulan saya nginap di kampus. Pelatihan menjelang keberangkatan ini mengharuskan saya nginap di asrama PHRD di kampus STAN Bintaro alias Jurangmangu selama lebih kurang 5 bulan. 

Di diklat ini kami belajar -terutama- English. Ada syarat minimum untuk skor TOEFL iBT untuk bisa lulus training ini. Dua-tiga minggu pertama kami belajar General English dan dilanjutkan dengan persiapan iBT test. Tiap minggu ada practice test dan weekly progress selalu di pantau. 

Alhamdulillah saya termasuk yang dapet kesempatan pertama ikut tes (jadi stresnya ga berlanjut). Minggu kemarin saya sudah menjalani the real iBT Test di Pantai Indah Kapuk. Belum tau hasilnya, ga terlalu yakin sebenernya. But I've done my best, let Allah do the rest...

Di sini saya sadar, banyak hal yang harus disiapkan. Kuliah di LN bener-bener ga gampang. TOEFL iBT baru permulaan. Karena saya pengen sekolah di United Kingdom terutama England, saya juga butuh skor IELTS. Dan, karena saya juga mempertimbangkan mau ngambil MBA, maka saya juga harus belajar GMAT. Belum lagi jika universitas yang dituju minta essay atau SOP (statement of purpose). Perjalanan masih panjang...

Memutuskan lanjut sekolah setelah punya anak 4 juga bukan hal yang mudah. Banyak pertimbangan yang mempengaruhi keputusan negara mana, kota apa, universitas apa, dan jurusan apa yang mau diambil. Misalnya, kalo mau bawa anak-anak, biaya sekolah pasti jadi pertimbangan utama. Trus, kondisi kotanya, termasuk kuliah yang akan dijalani apakah memungkinkan ketika kita juga sibuk dengan anak-anak, artinya ga mungkin ngambil jurusan yang menuntut konsentrasi penuh. Belum lagi biaya hidup, dan seterusnya.

(Buat temen-temen yang masih single, secepat mungkin putuskan untuk lanjut sekolah -jika kalian emang menginginkannya. Untuk yang masih single, satu-satunya pertimbangan mungkin orang tua. Tapi, karena kalian juga udah dewasa, tentu itu harusnya juga ga terlalu jadi beban (kecuali klo ortu sakit). Kalian punya lebih banyak pilihan dan kesempatan.)

Sampe saat ini, opsi pertama masih: bawa 3 anak (baby ditinggal, karena baby butuh nanny dan itu hampir ga mungkin) dan suami ikut lanjut studi di kota yang sama. Dengan allowance ganda semoga biaya hidup bisa dipenuhi tanpa harus kerja tambahan. Ambil program studi yang cuma 1 tahun biar ga kelamaan ninggalin si bontot. (tentu ada opsi lanjutan, tapi saya ga mau nulis. Membuat 2nd or 3rd options hanya akan membuatmu menurunkan standar -mungkin juga- usaha untuk mengejarnya. Jadi saya akan berusaha untuk memenuhi opsi pertama dulu hehehe)

Tadinya saya mau ambil Petroleum and Energy Economics and Finance di University of Aberdeen, Scotland. Ini universitas terbaik di eropa kalo kamu pengen belajar tentang petroleum. Tapi referendum yang sedang berlangsung tepat hari ini di sana membuat saya berpikir ulang. Ada pertimbangan lain juga, karena setelah mengumpulkan info, saya pikir MBA (master of business administration) atau MPA (master of public administration) juga menarik. Saya lagi nyari universitas dan kota di England yang cocok untuk saya tinggal dan keluarga nanti. Mungkin London, Brimingham, Mancester, atau yang lain. Any suggestions?

Satu-satunya tantangan untuk kuliah di UK dengan bawa keluarga adalah kita harus siapin deposit yang nilainya ratusan juta. Tapi saya yakin bisa ngusahain bagian ini. Semoga Allah memudahkan...


PHRD-Jurangmangu, 18 September 2014

Wednesday, June 11, 2014

Impianmu, bukan impianku...

Ada yang agak 'mengganjal' hati saya beberapa hari terakhir.

Banyak saudara, sahabat, teman, kenalan, yang tahu dan yang saya beritahu mengucapkan selamat kepada saya soal kelulusan saya. Bukan itu masalahnya.

Dari semua ucapan yang tulus itu, saya tiba-tiba tercenung dengan kata,"Mba menginspirasi sekali"

Saya akan senang-senang saja jika itu diucapkan teman-teman saya yang laki-laki (artinya dia terpacu dan menjadi bersemangat untuk belajar ke luar negeri). Tapi saya agak 'terganggu' jika kata itu keluar dari seorang ibu, seorang istri. 

Karena pengumuman itu (yang di-upload di web internal instansi saya sehingga semua pegawai bisa mengetahui), tiba-tiba semua orang mengatakan mereka ingin menyusul saya. Bukannya saya tidak ingin menjadi inspirasi banyak orang, tentu itu suatu penghargaan yang sangat tinggi bagi saya jika saya benar-benar menginspirasi orang lain -dalam hal yang baik tentunya. Bukan itu... 

Ini masalah impianku, bukan impianmu.

Mimpi saya memang kuliah di luar negeri, karena saya ingin jadi dosen kelak suatu hari nanti. Hanya dengan kuliah lagi saya bisa jadi dosen mahasiswa S1. Karena itu juga mimpi suami saya, maka kami klop, maka kami kemudian saling mendukung, tak peduli siapa duluan. Allah pasti akan memberikan jalan, petunjuk, juga kemudahan, jika kami meniatkannya untuk kebaikan.

Jika kuliah di luar negeri juga menjadi mimpimu, aku akan mendoakanmu semoga kamu dimudahkan dalam mencapainya. Pastikan itu benar-benar mimpimu, bukan mimpiku, bukan mimpi orang lain.

Kadang kita melihat mimpi orang lain begitu indah, begitu dekat, sehingga kita juga ingin seperti mereka. 

Saya agak ngeri membayangkan ibu-ibu muda itu kemudian tergesa-gesa memutuskan sesuatu yang kemudian akan mereka sesali di kemudian hari. 

Ini bukan tentang meraih impian. Ini tentang mendefinisikan impianmu.
Aku sudah mendefenisikan impianku, impian kami (saya dan suami).
Kalian harus mendefinikan impian kalian sendiri.

Menjadi lulusan luar negeri memang terlihat keren, tapi belum tentu cocok dengan passionmu.
Menjadi pejabat kadang terlihat luar biasa, tapi tak perlu menjadi pejabat untuk bisa jadi luar biasa.

Khusus saya tulis untuk teman-teman perempuan saya.
Banyak hal yang akan dikorbankan untuk meraih sebuah mimpi. 
Pastikan mimpi itu PANTAS kalian raih.
Pastikan juga, belahan jiwa kalian memiliki impian yang sama, karena ridhanya adalah kunci kebahagiaanmu. Ridhanya adalah syurgamu...

And the real struggle just begin

Kamis sore itu saya lagi agak santai di meja kantor, ketika mendengar bunyi khas notifikasi japri di hp (saya ngga menyetel bunyi untuk notifikasi grup, hanya bbm atau wa japri saja). Dari seorang teman yang mengatakan,"Barakallah ya mba Nina..."

Jantung saya berdegup kencang ketika membaca sepintas pesan itu. Feeling saya mengatakan apakah mungkin pengumuman sudah keluar? Tapi otak saya bilang, ga mungkin, pengumuman masih 4 hari lagi, tanggal 8 Juni.

Tapi di salah satu grup WA, teman-teman mengucapkan "barakallah", "selamat ya bu"...
dan di grup satunya lagi, "congrats ya mba Nina", "you're rock mba Nin", dst...

Eh, kayaknya bener nih...

Dengan terburu-buru saya langsung buka web yang bikin pengumuman... dan lamaaaa kemudian, baru saya benar-benar yakin bahwa nama saya memang ada di pengumuman kelulusan hasil tes wawancara.

Teman-teman kantor begitu senang dan ikut bahagia ketika saya memberi tahu. Saya juga langsung menelpon suami tercinta, juga orang tua di rumah. Mereka juga sangat bahagia ketika saya menyampaikan berita itu.

Hingga malam hari, euforia kelulusan saya masih terasa. Sampai menjelang tidur, seluruh tubuh saya masih gemetar. 
Ya Allah... begitu indah skenario Engkau untukku. Berilah aku petunjukmu dan jadikan aku hambaMu yang senantiasa bersyukur dan bersabar.

Keesokan harinya, otak saya baru bisa diajak mikir lagi. Surat pengumuman yang sudah saya download saya buka di layar komputer dan saya baca perlahan. Isinya lebih kurang begini: bahwa kira-kira 2 pekan dari sekarang saya akan menjalani diklat persiapan (pre departure training) hingga 5 bulan ke depan dan saya diharuskan masuk asrama yang telah disediakan dan mengikuti diklat 5 hari seminggu full.

Kemudian panik... 
(Oh, no! Saya harus ninggalin dede bayi? Tidaaaaak...)*

Kemudian terbayang pusingnya menjalani diklat yang ternyata ga main-main, repotnya ngurus pasport, visa, mencapai skor IELTS yang cukup tinggi, mendaftar ke universitas yang diincer (klo ga diterima, daftar ke universitas lain, dst)...

Kemudian terbayang nanti harus hidup sendiri di negeri orang meninggalkan anak-anak dan suami untuk impian itu, susahnya mengatasi shock culture, pusingnya kuliah nanti, tugas-tugasnya, ujiannya, gimana kalo nilainya jelek, gimana klo ga lulus.... (dan pikiran negatif lainnya berseliweran di kepala)

Dan kemudian menyadari bahwa inilah awal dari perjuangan sesungguhnya. Tes ini hanya bagian permulaan dari pengorbanan dan kerja keras panjang. Banyak hal yang nanti akan menjadi tantangan (bukan hambatan), tapi banyak juga peluang yang bisa dimanfaatkan, belum lagi pengalaman yang mungkin tak kan tergantikan dan terlupakan...

Saya sedang keluar dari zona nyaman, dan saya sedang berusaha. Saya tau sejak awal, ini konsekuensi yang harus saya hadapi. Ini harga yang harus dibayar demi sebuah cita.

Ya Allah kuatkan saya, kuatkan kami. 
Berilah kami petunjuk agar dapat menjalani semua dengan sukses dan bahagia.
Ya Rabb... ridhai aku...

Wednesday, June 4, 2014

My Great Motivator

Masih tentang perjuangan meraih beasiswa...

Momen semenjak saya memasukkan berkas permohonan beasiswa menjadi peristiwa yang menjadi titik balik bagi kami berdua, saya dan suami. Kami sudah memimpikan dan merencanakan akan mencoba mengambil beasiswa luar negeri sejak lama.

Rencana adalah langkah awal. Menuliskannya dalam kertas menjadi penegas dan bukti bahwa kami benar-benar, sungguh-sungguh berniat untuk mewujudkannya. Dan memasukkan berkas permohonan, mengantarkannya ke bagian penerimaan berkas beasiswa, adalah action, langkah awal, langkah pertama yang saya jejakkan demi meniti tangga menuju mimpi yang setinggi bintang itu.

Lebih dari itu semua, ada satu hal lagi yang saya sadari, dan kemudian sangat saya syukuri.

Orang yang paling mendukung saya, motivator terhebat sepanjang masa, yang memaksa saya melakukan ini itu segera, bahkan menemani saya, senantiasa berada di sisi saya dalam setiap langkah, adalah suami saya. 

Pertama kali melihat pengumuman penawaran di web internal pegawai, saya langsung chat sama suami. 
"Bi, ada penawaran nih. Daftar ga?"
"Daftar aja mi!"
Berbekal izinnya, saya segera print pengumuman itu, ngumpulin satu-satu persyaratan yang diminta.
Setelah pengumuman pemanggilan peserta tes tertulis keluar, dia juga yang memaksa saya mendaftar kursus TPA -yang saya malas ikut karena berarti harus meninggalkan dede bayi (lagi) seharian penuh. Dia bahkan menemani saya ikut kursus yang kemudian ternyata sangat membantu saya menghadapi soal tes di hari-H. Dia juga yang nyariin aplikasi soal TPA full versi Bappenas yang didapatnya entah darimana.

Alhamdulillah, ternyata saya dinyatakan lulus tes tertulis. Hal yang sangat mengejutkan bagi saya. Tak menyangka, meski sangat berharap. Pada hari pengumuman, suami juga yang jam 10 malam membangunkan saya yang sudah tertidur pulas sehabis menidurkan dede bayi. "Mi, nama umi ada mi." Saya pun langsung bangun dan melihat sendiri unduhan pengumuman dari web pemberi beasiswa. 

Berikutnya, persiapan wawancara. Suami juga yang sibuk nanya sana-sini, nyari info sana-sini, menyemangati tiap hari, jadi temen diskusi jawaban apa yang paling tepat untuk setiap pertanyaan, bahkan jadi pewawancara ketika kami simulasi wawancara malam hari sebelum hari-H. Dia forward email berisi pertanyaan-pertanyaan yang biasa ditanyakan ketika wawancara, menelpon atau chat sama teman-temannya yang sedang atau sudah kuliah di luar negeri, bahkan berhasil menemukan seorang pegawai satu instansi yang sedang kuliah di universitas yang saya incar. Saya juga berhasil chat sama mas itu dan menggali info untuk persiapan wawancara.

Kayaknya suami lebih semangat dari saya. Padahal dia sendiri belum lulus S1-nya. Sudah mau skripsi, tapi karena sesuatu hal, skripsinya baru bisa mulai September mendatang, insyaAllah lulus Maret tahun depan. Karena kuliah atas biaya sendiri, jadi dia bisa langsung bisa melanjutkan kuliah S2 setelah wisuda.

Betapa saya bersyukur memiliki suami yang mendukung impian-impian saya, impian-impian kami. Banyak rekan-rekan yang lebih pintar dan punya potensi luar biasa, tak bisa lanjut pendidikan karena suami ga mendukung (meskipun saya memahami, mereka pasti punya prioritas yang mungkin berbeda dengan keluarga kami.)

Above all, rangkaian peristiwa ini -sekali lagi- adalah titik balik bagi kami berdua. Impian mengejar beasiswa dan kuliah di Eropa tampak semakin dekat dan jelas. Dengan lulusnya saya di tes tertulis kemarin, suami dan saya jadi semangat untuk meng-upgrade diri kami terutama skor TOEFL/IELTS dan TPA, agar jika saya lulus nanti, suami bisa langsung nyusul.

Kami punya rencana untuk kuliah bareng di universitas yang sama sambil membawa anak-anak. Entah lewat beasiswa ini atau yang lain. Yah, idealnya sih begitu.
Entah kemana nasib ini akan membawa kami nanti. Yang pasti kami terus berjuang dan berdoa. 
Kami tak tahu apa yang terbaik untuk kami. Jika ini baik, semoga Allah memudahkan dan melancarkan ikhtiar kami. Aaaamiiin ya Rabb...

for my great motivator, my lovely husband
Love you more than anything...

Tuesday, June 3, 2014

The Next Step - Wawancara

Pada hari seharusnya pengumuman keluar, dari pagi saya mantengin web. Tapi yang dicari tak jua muncul. Refresh dan refresh lagi, hingga sore hari tampilan web tak juga berubah.

Sampe tiba di rumah, saya akhirnya lupa karena sibuk dengan anak-anak. Sekitar jam 10 malam, ketika saya sudah tertidur pas bobo-in dede bayi, tiba-tiba suami membangunkan saya dan berkata,"Mi, nama umi ada!" Suaranya pelan ketika memberitahu saya, tapi begitu menggelegar di telinga saya.

Suami kemudian menunjukkan nama saya di pengumuman yang tampil di web via tablet. Alhamdulillaaaah... 
(dari kemarin sebenarnya sudah uring-uringan tapi berita ini mengejutkan sekaligus menggembirakan)

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan hunting pertanyaan wawancara. Kami, saya dan suami, sibuk menghubungi semua pihak yang kira-kira bisa membantu. Teman-teman yang sudah dan sedang kuliah di luar negeri, searching internet, minta bahan-bahan ke kenalan yang sudah pengalaman, dan seterusnya. Email pun berdatangan, informasi juga semakin banyak saya kumpulkan demi mempersiapkan diri untuk tampil prima ketika wawancara.

Tiba di tempat wawancara satu jam sebelum wawancara mulai, saya menemukan ruangan masih kosong. Saya pun langsung ke toilet untuk bersiap. Kembali ke ruang tunggu, ternyata panitia sudah datang dan rekan-rekan sesama interviewee sudah memenuhi ruangan. 

Sembari menunggu giliran dipanggil, saya sempetin ngobrol dengan interviewee yang lain (sekalian observasi saingan hehehe). Interviewee pertama masuk ruangan. Setengah jam kemudian keluar dengan wajah lega. Untungnya dia mau sharing mengenai pertanyaan yang ditanyakan tadi.

Jam 11 lewat, nama saya pun dipanggil untuk masuk ke ruang wawancara, dimana tiga interviewer sudah menunggu. Pertanyaan demi pertanyaan saya coba jawab dengan baik, sebaik yang saya bisa (meski kadang saya tidak begitu yakin -melalui gesture misalnya- apakah jawaban saya memuaskan mereka). 

Hampir semua pertanyaan sudah saya prediksi sebelumnya sesuai informasi yang saya kumpulkan bersama suami. Kami memilih jawaban mana yang kira-kira paling baik untuk tiap pertanyaan. Kami bahkan simulasi wawancara 2 malam berturut-turut sebelum hari wawancara, in english dan bahasa Indonesia, karena beasiswanya full luar negeri.

Kalau boleh saya simpulkan, pertanyaan wawancara biasanya tidak akan jauh-jauh membahas mengenai:

  • motivasi, mengapa mengikuti beasiswa ini
  • alasan pemilihan program studi dan universitas/negara yang dituju, termasuk rencana tesis
  • dukungan keluarga, termasuk apakah keluarga akan dibawa atau tidak
  • apa saja kontribusi yang sudah diberikan dalam pekerjaan di unit yang sekarang, kaitannya dengan program studi yang diambil
  • apa yang akan dilakukan setelah lulus, rencana kontribusi untuk institusi, termasuk career path
  • kelebihan dan kelemahan kita
  • dan mengapa kita berhak menerima beasiswa ini

Selesai wawancara, rasanya lega tapi ngga plong. Langkah selanjutnya akan ditentukan oleh subjektivitas pewawancara. Jika mereka oke, saya mungkin bisa kuliah ke Inggris tahun depan. Tapi jika saya tidak berhasil meyakinkan mereka, artinya saya harus mencari pemberi beasiswa lain hehehe...

Monday, May 26, 2014

A step ahead to reach the dream

Momentum itu dimulai ketika jatuh tempo 2 tahun saya hampir terlewati. Dua tahun adalah waktu yang harus saya lalui sebelum diperkenankan untuk melanjutkan pendidikan. Demikian memang yang dipersyaratkan oleh institusi saya, sebuah institusi pemerintah. Dua tahun sejak penempatan defenitif, itulah syaratnya,

Dan bulan Februari lalu jangka waktu itu telah lewat. Saya mulai mencari program beasiswa mana yang mau diikuti. Begitu juga dengan teman-teman seangkatan D IV lain, kami saling berbagi informasi.

Masalah mau lanjut S2 ini juga sudah pernah saya bicarakan dengan suami. Bahkan dia sangat mendukung. Dan ketika kesempatan itu tiba, saya pun segera memulai pertarungan.
Sebenarnya ada 2 program yang ditawarkan, satu dibiayai pemerintah Australia, satunya lagi dari World Bank. Penawaran dari Australia mensyaratkan sertifikat TOEFL-ITP dengan skor minimal 500. Apa mau dikata, sudah mencari kemana-mana lembaga yang bisa memberikan sertifikat dalam waktu yang ditentukan tapi tidak ada. Malangnya saya, soalnya dari tengah tahun kemarin sebenernya si abi sudah menyarankan saya untuk segera ikut tes TOEFL-ITP, tapi saya abai.

But then, masih ada peluang kedua. Tawaran yang ini tidak mensyaratkan nilai TOEFL karena dia menyelenggarakan sendiri tes TOEFL-nya. Akhirnya saya mencoba peruntungan untuk bertarung dalam laga ini.

Berkas sudah dimasukkan dan alhamdulillah nama saya ada dalam daftar peserta tes tertulis. Tes ini terdiri dari 3 jenis tes yang diselenggarakan selama 2 hari. Hari pertama, Tes Potensi Akademik (TPA) dan TOEFL, dilanjutnya psikotes di hari kedua.

Semenjak pengumuman pemanggilan peserta tes tertulis, saya langsung searching soal-soal TPA, Toefl, dan psikotes. Mau valid atau engga, yang penting latihan. Ya, untuk ngencerin lagi otak yang udah lama ngga diajak mantengin soal-soal matematika. Sabtu sebelum hari-H, saya ditemani suami ikut kursus TPA seharian di daerah Lebak Bulus. Yang ngajar dari Bappenas (atau mantan pegawai Bappenas?), seharian belajar TPA sangat membantu saya menyegarkan ingatan. Ia memberikan tips-tips, tak hanya cara mengerjakan soal-soal logika matematika yang diujikan, tapi juga tips psikotes bahkan wawancara. Ada prediksi skor juga, dan inilah yang kemudian menaikkan pede saya karena skor saya adalah yang tertinggi dari 75 peserta kursus pada hari itu.

Hari tes-pun akhirnya tiba. Sudah sampai di tempat tes sebelum jam 7, saya masih sempat istirahat sejenak dan sarapan pagi. Agak kurang fit sebenarnya karena 2 malam sebelumnya si dede Sofi sering bangun malam karena kurang enak badan. Dua malam kurang tidur, saya pasrah saja dengan ujian kali ini, padahal menurut saran dari teman-teman, kondisi badan harus fit banget ketika tes, supaya bisa konsen dan cepat mengerjakan soal. 
Selesai tes TPA di pagi hari, saya langsung curhat via grup WA bahwa soalnya susah banget. Hampir separuh soal matematika saya lewatkan karena kurangnya waktu. Saya pikir saya salah strategi (padahal pak dosen yang ngajarin TPA sudah memberi tahu bahwa soal-soal awal memang disetting sulit dikerjakan dan membutuhkan waktu lama), harusnya saya mengerjakan soal yang saya suka dulu (misalnya deret) baru yang lain. 10 soal pertama saya kerjakan hampir setengah jam, padahal masih ada 80 soal lagi yang harus dikerjakan setengah jam berikutnya. Saya pasrah. Tapi saya tetap berusaha mengerjakan soal Toefl (yang mana audionya ketika itu juga very very bad... Couldn't hear any word) dan psikotes dengan sebaik-baiknya.

Not so sure, but nothing imposible. Keep positive thinking.