Tulisan yang mencerahkan dari Rhenald Kasali
DUL
KITA tentu tak menyangka bagaimana mungkin seorang bocah berusia 13 tahun sudah dilepas membawa mobil sendiri pada tengah malam.
Memang ia ditemani seseorang, tetapi ia juga masih terbilang bocah.
Bukan mengemudi di dekat rumah dengan pengawasan orangtua, melainkan di
jalan tol, menempuh jarak yang terbilang jauh. Dan apesnya, enam orang
tewas, dan beberapa anak langsung menjadi yatim piatu.
Ini tentu sangat memprihatinkan. Namun setiap kali melihat bagaimana
masyarakat mendidik anak-anak, saya sebenarnya sangat khawatir. Tak
dapat dipungkiri, tumbuhnya kelas menengah telah menimbulkan gejolak
perubahan yang sangat besar.
Namun reaksinya sangat ekstrem: Yang satu mengekang habis anak-anak
dengan dogma, agama dan sekolah sehingga melahirkan anak-anak alim yang
amat konservatif, yang satunya memberi materi dan servis tiada batas,
sehingga menjadi amat liberal.
Di segmen atas anak-anak diberikan mobil, di bawah menuntut dibelikan
sepeda motor meski usianya belum 17 tahun. Kebut-kebutan menjadi biasa,
korban pun sudah sangat sering berjatuhan. Karena mereka bukan
siapa-siapa maka kecelakaan dan kematian yang ditimbulkan tidak masuk
dalam orbit media massa. Kematian yang ditimbulkan Dul mengirim sinyal
penting bagi kita semua.
Business class
Di pesawat terbang, mungkin hanya di Indonesia, Anda bisa menyaksikan
keluarga-keluarga muda membawa anak-anaknya duduk di kelas bisnis. Dua
orang baby sitter, duduk sedikit di belakang, tak jauh dari batas kelas
eksekutif mengawal anak-anak yang sudah bukan bayi lagi itu. Di masa
liburan, bukan hal aneh menemukan keluarga menunggu di business lounge,
dan naik pesawat dengan tiket termahal.
Sayang sekali, cara makan anak-anak belum dididik layaknya kelas
menengah. Berteriak-teriak di antara kalangan bisnis, makan tercecer di
jalan, dan di atas pesawat memperlakukan pramugari seperti pembantunya
di rumah. Sebentar-sebentar bel dipijit, dan pramugari bolak-balik sibuk
hanya melayani dua orang kakak-beradik yang minta segala layanan.
Menjelang tiba di tujuan, orangtua baru mulai menyentuh anak-anaknya,
dibantu baby sitter yang terlihat gelisah. Orangtua mereka umumnya
adalah pemilik areal pertambangan, pedagang, atau ada juga seleb-seleb
muda yang belakangan banyak bermunculan. Ayah dan ibu memilih tidur.
Jarang ditemui percakapan yang memotivasi, atau mengajarkan sikap hidup.
Paling banter, mereka bermain video game, dari iPad yang dibawa
anaknya. Padahal di luar negeri, iPad adalah alat kerja eksekutif yang
dianggap barang mewah. Kesulitan orangtua tentu bukan hanya berlaku bagi
kelas menengah saja. Di taman kanak-kanak yang diasuh istri saya di
Rumah Perubahan, di tengah-tengah kampung di dekat Pondok Gede hal
serupa juga kami temui. Belum lama ini sepasang suami-istri menitipkan
anaknya untuk sekolah di tempat kami, dan setelah mengecek status
sosial-ekonominya, anak itu pun diputuskan untuk diterima.
Namun ada yang menarik, setelah diobservasi, anak berusia lima tahun itu
seperti belum tersentuh orangtuanya. Ia seperti rindu bermain, motorik
halus dan kasarnya belum terbentuk, jauh tertinggal dari teman-teman
sebayanya. Setelah dipelajari dan orangtua diajak dialog, kami menjadi
benar-benar paham pergolakan apa yang tengah terjadi dalam masyarakat
kita. Orangtua selalu mengatakan, “Saya bekerja keras untuk menyiapkan
masa depan anak-anak. Saya juga sering mengajak mereka berlibur”. Namun,
anak-anaknya menyangkal semua pemberian itu.
Faktanya, anak-anak tak terbentuk. Sikap sosialnya, termasuk modal dasar
yang disebut para ahli pengembangan anak sebagai executive function dan
self regulation tidak terbentuk. Orangtua hanya fokus pada kemampuan
anak berhitung dan membaca. Padahal, mereka juga harus pandai mengelola
“air traffic control” yang ada dalam pikiran anak-anaknya agar kelak
mampu menjadi insan mandiri yang bertanggung jawab.
Executive function
Anak-anak kita menghadapi dunia baru yang benar-benar berbeda dengan
kita, sehingga mudah sekali “berpaling” dari hal-hal rutin seperti
sekolah dan belajar. Mereka hidup dalam dunia yang penuh dengan
“gangguan” (distraction) seperti sosial media dan telekomunikasi yang
saling bersahutan. Kita semua akan sangat kesulitan menjaga dan
membimbing anak-anak kita bila modal dasar executive function tidak
ditanam sejak dini. Apalagi bila sekolah hanya fokus pada angka dan
huruf, seakan-akan pengetahuan dan rumus adalah segala-galanya.
Menurut berita yang saya baca, Dul ternyata sudah sejak Juni lalu tak
sekolah. Saya tak tahu tentang kebenaran berita ini. Tetapi Minggu dini
hari dia masih mengendarai mobil, mengantar pacar lewat jalan tol, tentu
mengindikasikan anak itu (ini juga bisa terjadi pada anak-anak kita,
bukan?) telah hidup dalam abad distraction, sulit untuk fokus sekolah
dan belajar. Studi-studi tentang executive function dalam child
development antara lain banyak bisa kita temui dalam buku dan video yang
diberikan psikolog-psikolog terkemuka, seperti Ellen Galinsky dan
Debora Philip.
Mereka menemukan, di abad ini, anak-anak perlu mendapat fondasi hidup
yang jauh lebih penting dari sekadar tahu angka dan huruf. Anak-anak itu
perlu dilatih tiga hal: Working memory, Inhibitory control, dan Mental
flexibility. Ketiga hal itulah yang akan membentuk generasi emas yang
bertanggung jawab dan produktif. Mereka sedari dini perlu dibentuk cara
bekerja yang efektif, fokus, tahu dan bekerja dengan aturan, sikap
positif terhadap orang lain, mengatasi ketidaknyamanan, dan permintaan
yang beragam, serta cara mengelola informasi yang datang bertubi-tubi.
Pikiran mereka dapat diibaratkan menara Air Traffic Control di Bandara
Cengkareng dengan ratusan pesawat yang datang dan pergi, semua berebut
perhatian dengan sejuta masalah yang harus direspons cepat. Maka itu,
masalah Dul bukanlah sekadar masalah Ahmad Dhani yang menjadi seleb,
atau masalah keluarga broken home. Ini adalah masalah kita bersama,
masalah yang dihadapi anak-anak kita. Dari kita yang tidak fokus dan
sibuk mencari uang atau mengurus orang lain. Kita yang dibentuk oleh
sistem pendidikan model revolusi industri yang masih berpikir cara lama.
Ditambah guru-guru yang juga banyak tidak fokus, tidak paham problem
yang dihadapi generasi baru, yang punya ukuran kecerdasan menurut versi
mereka sendiri, dalam model persekolahan yang materialistis dan old
fashion. Sekolah yang menjenuhkan dan tidak membuka fondasi yang
diperlukan anak-anak sehingga mereka lari dari rutinitas.
Ini pun sama masalahnya dengan orangtua yang lari dari dunia nyata dan
berlindung dalam benteng-benteng dogma dengan menyembunyikan anak dari
dunia riil ke tangan kaum konservatif yang menjadikan anak hidup dalam
dunia yang gelap dan steril. Anak-anak kita perlu pendekatan baru untuk
menjelajahi dunia baru. Mereka perlu dilatih keterampilan-keterampilan
hidup, fokus dan selfregulations, menjelajahi hidup dalam aturan, yang
ditanam sedari usia dini.