Wednesday, June 11, 2014

Impianmu, bukan impianku...

Ada yang agak 'mengganjal' hati saya beberapa hari terakhir.

Banyak saudara, sahabat, teman, kenalan, yang tahu dan yang saya beritahu mengucapkan selamat kepada saya soal kelulusan saya. Bukan itu masalahnya.

Dari semua ucapan yang tulus itu, saya tiba-tiba tercenung dengan kata,"Mba menginspirasi sekali"

Saya akan senang-senang saja jika itu diucapkan teman-teman saya yang laki-laki (artinya dia terpacu dan menjadi bersemangat untuk belajar ke luar negeri). Tapi saya agak 'terganggu' jika kata itu keluar dari seorang ibu, seorang istri. 

Karena pengumuman itu (yang di-upload di web internal instansi saya sehingga semua pegawai bisa mengetahui), tiba-tiba semua orang mengatakan mereka ingin menyusul saya. Bukannya saya tidak ingin menjadi inspirasi banyak orang, tentu itu suatu penghargaan yang sangat tinggi bagi saya jika saya benar-benar menginspirasi orang lain -dalam hal yang baik tentunya. Bukan itu... 

Ini masalah impianku, bukan impianmu.

Mimpi saya memang kuliah di luar negeri, karena saya ingin jadi dosen kelak suatu hari nanti. Hanya dengan kuliah lagi saya bisa jadi dosen mahasiswa S1. Karena itu juga mimpi suami saya, maka kami klop, maka kami kemudian saling mendukung, tak peduli siapa duluan. Allah pasti akan memberikan jalan, petunjuk, juga kemudahan, jika kami meniatkannya untuk kebaikan.

Jika kuliah di luar negeri juga menjadi mimpimu, aku akan mendoakanmu semoga kamu dimudahkan dalam mencapainya. Pastikan itu benar-benar mimpimu, bukan mimpiku, bukan mimpi orang lain.

Kadang kita melihat mimpi orang lain begitu indah, begitu dekat, sehingga kita juga ingin seperti mereka. 

Saya agak ngeri membayangkan ibu-ibu muda itu kemudian tergesa-gesa memutuskan sesuatu yang kemudian akan mereka sesali di kemudian hari. 

Ini bukan tentang meraih impian. Ini tentang mendefinisikan impianmu.
Aku sudah mendefenisikan impianku, impian kami (saya dan suami).
Kalian harus mendefinikan impian kalian sendiri.

Menjadi lulusan luar negeri memang terlihat keren, tapi belum tentu cocok dengan passionmu.
Menjadi pejabat kadang terlihat luar biasa, tapi tak perlu menjadi pejabat untuk bisa jadi luar biasa.

Khusus saya tulis untuk teman-teman perempuan saya.
Banyak hal yang akan dikorbankan untuk meraih sebuah mimpi. 
Pastikan mimpi itu PANTAS kalian raih.
Pastikan juga, belahan jiwa kalian memiliki impian yang sama, karena ridhanya adalah kunci kebahagiaanmu. Ridhanya adalah syurgamu...

And the real struggle just begin

Kamis sore itu saya lagi agak santai di meja kantor, ketika mendengar bunyi khas notifikasi japri di hp (saya ngga menyetel bunyi untuk notifikasi grup, hanya bbm atau wa japri saja). Dari seorang teman yang mengatakan,"Barakallah ya mba Nina..."

Jantung saya berdegup kencang ketika membaca sepintas pesan itu. Feeling saya mengatakan apakah mungkin pengumuman sudah keluar? Tapi otak saya bilang, ga mungkin, pengumuman masih 4 hari lagi, tanggal 8 Juni.

Tapi di salah satu grup WA, teman-teman mengucapkan "barakallah", "selamat ya bu"...
dan di grup satunya lagi, "congrats ya mba Nina", "you're rock mba Nin", dst...

Eh, kayaknya bener nih...

Dengan terburu-buru saya langsung buka web yang bikin pengumuman... dan lamaaaa kemudian, baru saya benar-benar yakin bahwa nama saya memang ada di pengumuman kelulusan hasil tes wawancara.

Teman-teman kantor begitu senang dan ikut bahagia ketika saya memberi tahu. Saya juga langsung menelpon suami tercinta, juga orang tua di rumah. Mereka juga sangat bahagia ketika saya menyampaikan berita itu.

Hingga malam hari, euforia kelulusan saya masih terasa. Sampai menjelang tidur, seluruh tubuh saya masih gemetar. 
Ya Allah... begitu indah skenario Engkau untukku. Berilah aku petunjukmu dan jadikan aku hambaMu yang senantiasa bersyukur dan bersabar.

Keesokan harinya, otak saya baru bisa diajak mikir lagi. Surat pengumuman yang sudah saya download saya buka di layar komputer dan saya baca perlahan. Isinya lebih kurang begini: bahwa kira-kira 2 pekan dari sekarang saya akan menjalani diklat persiapan (pre departure training) hingga 5 bulan ke depan dan saya diharuskan masuk asrama yang telah disediakan dan mengikuti diklat 5 hari seminggu full.

Kemudian panik... 
(Oh, no! Saya harus ninggalin dede bayi? Tidaaaaak...)*

Kemudian terbayang pusingnya menjalani diklat yang ternyata ga main-main, repotnya ngurus pasport, visa, mencapai skor IELTS yang cukup tinggi, mendaftar ke universitas yang diincer (klo ga diterima, daftar ke universitas lain, dst)...

Kemudian terbayang nanti harus hidup sendiri di negeri orang meninggalkan anak-anak dan suami untuk impian itu, susahnya mengatasi shock culture, pusingnya kuliah nanti, tugas-tugasnya, ujiannya, gimana kalo nilainya jelek, gimana klo ga lulus.... (dan pikiran negatif lainnya berseliweran di kepala)

Dan kemudian menyadari bahwa inilah awal dari perjuangan sesungguhnya. Tes ini hanya bagian permulaan dari pengorbanan dan kerja keras panjang. Banyak hal yang nanti akan menjadi tantangan (bukan hambatan), tapi banyak juga peluang yang bisa dimanfaatkan, belum lagi pengalaman yang mungkin tak kan tergantikan dan terlupakan...

Saya sedang keluar dari zona nyaman, dan saya sedang berusaha. Saya tau sejak awal, ini konsekuensi yang harus saya hadapi. Ini harga yang harus dibayar demi sebuah cita.

Ya Allah kuatkan saya, kuatkan kami. 
Berilah kami petunjuk agar dapat menjalani semua dengan sukses dan bahagia.
Ya Rabb... ridhai aku...

Wednesday, June 4, 2014

My Great Motivator

Masih tentang perjuangan meraih beasiswa...

Momen semenjak saya memasukkan berkas permohonan beasiswa menjadi peristiwa yang menjadi titik balik bagi kami berdua, saya dan suami. Kami sudah memimpikan dan merencanakan akan mencoba mengambil beasiswa luar negeri sejak lama.

Rencana adalah langkah awal. Menuliskannya dalam kertas menjadi penegas dan bukti bahwa kami benar-benar, sungguh-sungguh berniat untuk mewujudkannya. Dan memasukkan berkas permohonan, mengantarkannya ke bagian penerimaan berkas beasiswa, adalah action, langkah awal, langkah pertama yang saya jejakkan demi meniti tangga menuju mimpi yang setinggi bintang itu.

Lebih dari itu semua, ada satu hal lagi yang saya sadari, dan kemudian sangat saya syukuri.

Orang yang paling mendukung saya, motivator terhebat sepanjang masa, yang memaksa saya melakukan ini itu segera, bahkan menemani saya, senantiasa berada di sisi saya dalam setiap langkah, adalah suami saya. 

Pertama kali melihat pengumuman penawaran di web internal pegawai, saya langsung chat sama suami. 
"Bi, ada penawaran nih. Daftar ga?"
"Daftar aja mi!"
Berbekal izinnya, saya segera print pengumuman itu, ngumpulin satu-satu persyaratan yang diminta.
Setelah pengumuman pemanggilan peserta tes tertulis keluar, dia juga yang memaksa saya mendaftar kursus TPA -yang saya malas ikut karena berarti harus meninggalkan dede bayi (lagi) seharian penuh. Dia bahkan menemani saya ikut kursus yang kemudian ternyata sangat membantu saya menghadapi soal tes di hari-H. Dia juga yang nyariin aplikasi soal TPA full versi Bappenas yang didapatnya entah darimana.

Alhamdulillah, ternyata saya dinyatakan lulus tes tertulis. Hal yang sangat mengejutkan bagi saya. Tak menyangka, meski sangat berharap. Pada hari pengumuman, suami juga yang jam 10 malam membangunkan saya yang sudah tertidur pulas sehabis menidurkan dede bayi. "Mi, nama umi ada mi." Saya pun langsung bangun dan melihat sendiri unduhan pengumuman dari web pemberi beasiswa. 

Berikutnya, persiapan wawancara. Suami juga yang sibuk nanya sana-sini, nyari info sana-sini, menyemangati tiap hari, jadi temen diskusi jawaban apa yang paling tepat untuk setiap pertanyaan, bahkan jadi pewawancara ketika kami simulasi wawancara malam hari sebelum hari-H. Dia forward email berisi pertanyaan-pertanyaan yang biasa ditanyakan ketika wawancara, menelpon atau chat sama teman-temannya yang sedang atau sudah kuliah di luar negeri, bahkan berhasil menemukan seorang pegawai satu instansi yang sedang kuliah di universitas yang saya incar. Saya juga berhasil chat sama mas itu dan menggali info untuk persiapan wawancara.

Kayaknya suami lebih semangat dari saya. Padahal dia sendiri belum lulus S1-nya. Sudah mau skripsi, tapi karena sesuatu hal, skripsinya baru bisa mulai September mendatang, insyaAllah lulus Maret tahun depan. Karena kuliah atas biaya sendiri, jadi dia bisa langsung bisa melanjutkan kuliah S2 setelah wisuda.

Betapa saya bersyukur memiliki suami yang mendukung impian-impian saya, impian-impian kami. Banyak rekan-rekan yang lebih pintar dan punya potensi luar biasa, tak bisa lanjut pendidikan karena suami ga mendukung (meskipun saya memahami, mereka pasti punya prioritas yang mungkin berbeda dengan keluarga kami.)

Above all, rangkaian peristiwa ini -sekali lagi- adalah titik balik bagi kami berdua. Impian mengejar beasiswa dan kuliah di Eropa tampak semakin dekat dan jelas. Dengan lulusnya saya di tes tertulis kemarin, suami dan saya jadi semangat untuk meng-upgrade diri kami terutama skor TOEFL/IELTS dan TPA, agar jika saya lulus nanti, suami bisa langsung nyusul.

Kami punya rencana untuk kuliah bareng di universitas yang sama sambil membawa anak-anak. Entah lewat beasiswa ini atau yang lain. Yah, idealnya sih begitu.
Entah kemana nasib ini akan membawa kami nanti. Yang pasti kami terus berjuang dan berdoa. 
Kami tak tahu apa yang terbaik untuk kami. Jika ini baik, semoga Allah memudahkan dan melancarkan ikhtiar kami. Aaaamiiin ya Rabb...

for my great motivator, my lovely husband
Love you more than anything...

Tuesday, June 3, 2014

The Next Step - Wawancara

Pada hari seharusnya pengumuman keluar, dari pagi saya mantengin web. Tapi yang dicari tak jua muncul. Refresh dan refresh lagi, hingga sore hari tampilan web tak juga berubah.

Sampe tiba di rumah, saya akhirnya lupa karena sibuk dengan anak-anak. Sekitar jam 10 malam, ketika saya sudah tertidur pas bobo-in dede bayi, tiba-tiba suami membangunkan saya dan berkata,"Mi, nama umi ada!" Suaranya pelan ketika memberitahu saya, tapi begitu menggelegar di telinga saya.

Suami kemudian menunjukkan nama saya di pengumuman yang tampil di web via tablet. Alhamdulillaaaah... 
(dari kemarin sebenarnya sudah uring-uringan tapi berita ini mengejutkan sekaligus menggembirakan)

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan hunting pertanyaan wawancara. Kami, saya dan suami, sibuk menghubungi semua pihak yang kira-kira bisa membantu. Teman-teman yang sudah dan sedang kuliah di luar negeri, searching internet, minta bahan-bahan ke kenalan yang sudah pengalaman, dan seterusnya. Email pun berdatangan, informasi juga semakin banyak saya kumpulkan demi mempersiapkan diri untuk tampil prima ketika wawancara.

Tiba di tempat wawancara satu jam sebelum wawancara mulai, saya menemukan ruangan masih kosong. Saya pun langsung ke toilet untuk bersiap. Kembali ke ruang tunggu, ternyata panitia sudah datang dan rekan-rekan sesama interviewee sudah memenuhi ruangan. 

Sembari menunggu giliran dipanggil, saya sempetin ngobrol dengan interviewee yang lain (sekalian observasi saingan hehehe). Interviewee pertama masuk ruangan. Setengah jam kemudian keluar dengan wajah lega. Untungnya dia mau sharing mengenai pertanyaan yang ditanyakan tadi.

Jam 11 lewat, nama saya pun dipanggil untuk masuk ke ruang wawancara, dimana tiga interviewer sudah menunggu. Pertanyaan demi pertanyaan saya coba jawab dengan baik, sebaik yang saya bisa (meski kadang saya tidak begitu yakin -melalui gesture misalnya- apakah jawaban saya memuaskan mereka). 

Hampir semua pertanyaan sudah saya prediksi sebelumnya sesuai informasi yang saya kumpulkan bersama suami. Kami memilih jawaban mana yang kira-kira paling baik untuk tiap pertanyaan. Kami bahkan simulasi wawancara 2 malam berturut-turut sebelum hari wawancara, in english dan bahasa Indonesia, karena beasiswanya full luar negeri.

Kalau boleh saya simpulkan, pertanyaan wawancara biasanya tidak akan jauh-jauh membahas mengenai:

  • motivasi, mengapa mengikuti beasiswa ini
  • alasan pemilihan program studi dan universitas/negara yang dituju, termasuk rencana tesis
  • dukungan keluarga, termasuk apakah keluarga akan dibawa atau tidak
  • apa saja kontribusi yang sudah diberikan dalam pekerjaan di unit yang sekarang, kaitannya dengan program studi yang diambil
  • apa yang akan dilakukan setelah lulus, rencana kontribusi untuk institusi, termasuk career path
  • kelebihan dan kelemahan kita
  • dan mengapa kita berhak menerima beasiswa ini

Selesai wawancara, rasanya lega tapi ngga plong. Langkah selanjutnya akan ditentukan oleh subjektivitas pewawancara. Jika mereka oke, saya mungkin bisa kuliah ke Inggris tahun depan. Tapi jika saya tidak berhasil meyakinkan mereka, artinya saya harus mencari pemberi beasiswa lain hehehe...