Thursday, September 6, 2012

Analogi

Masih segar diingatan kita, beberapa tahun yang lalu sempat isu tentang poligami menjadi pembicaraan terhangat di seantero nusantara. Semenjak sang Da’I fenomenal Aa Gym melakukannya hingga muncul klub poligami di Bandung, diikuti bermacam pembicaraan dan diskusi lebih jauh mengenai poligami di berbagai media dan seluruh kalangan pun ikut membicarakannya.

Latah poligamipun kemudian menjalar. Sebagian suami kemudian terinspirasi untuk melakukan poligami yang memang ada dalam syari’at, dilakukan oleh Rasulullah SAW, dengan segala maslahat yang ada didalamnya. Hal ini mungkin yang kemudian membuat Ustadz Cahyadi Takariyawan kemudian menulis sebuah buku yang tak kalah fenomenal, Membahagiakan Diri dengan Satu Istri, kala itu.

Saya yakin anda juga sependapat dengan saya, bahwa Ustadz Cah tidak sedang membuat tulisan tandingan atau mempertentangkan antara poligami dengan mempertahankan beristri satu. Pastilah tidak ada niatnya untuk menafikan kehalalan poligami, mengatakan satu istri lebih baik daripada banyak. Tentulah tidak. Beliau mungkin hanya membuat tulisan pembanding, agar poligami tidak dipahami secara parsial, dan kemudian melakukan (meneladani) apa yang Rasulullah lakukan dengan pemahaman yang tidak komprehensif. Hanya berharap ketika melakukan poligami adalah betul-betul dengan pemahaman yang benar sehingga memberikan maslahat sebagaimana yang diharapkan.

Ketika saya membaca tulisan seorang ak Akh yang mengatakan bahwa cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak lelaki/wanita shalih yang datang kepadamu, sungguh mungkin perasaan saya lebih kurang sama dengan ustadz Cah ketika membuat buku bahagia dengan satu istri-nya. Ada kekhawatiran yang tiba-tiba muncul dalam diri saya ketika tulisan itu kemudian dipahami dengan parsial oleh orang yang membacanya. Bukannya saya menyalahkan, menafikan, semua dalil, sunnah, dan teladan para sahabat yang dikemukakan. Sungguh tidak. Saya hanya membayangkan sebagian pembaca berbondong-bondong menolak ikhwan/akhwat shalih yang datang kepadanya karena alasan cinta. Cinta yang tak pernah kita tahu itu cinta dari siapa (dari Allah atau ada campur tangan syaitan disitu? Na’udzubillah). Cinta yang belum tentu ia shahih untuk diberikan kepada yang belum berhak.

Lagi-lagi saya tidak faqih bicara cinta.
Saya tidak bisa tau bagaimana sesungguhnya cara seorang ikhwan mengetahui akhwat incarannya juga mencintainya?
Saya juga tidak bisa mengira bagaimana cara seorang akhwat bisa yakin dengan menolak ikhwan shalih yang datang kepadanya dengan harapan ikhwan yang dicintainya akan melamarnya?
Saya juga tidak tau bagaimana seorang lelaki bisa sedemikian cinta kepada seorang akhwat yang sesungguhnya tidak dikenalnya sehingga memperkenankannya menolak akhwat yang disodorkan biodatanya?
Mohon beribu maaf atas kenaifan pikiran-pikiran suudzon saya…

Mengajak pembaca untuk mengendalikan cintanya yang menggelora memang tujuan saya membuat beberapa tulisan ‘counter’. Hanya bermaksud mengajak para ikhwah untuk mengendalikan perasaan hingga ia halal dan siap untuk ditanam, dipupuk, disiram, hingga tumbuh dan berkembang dengan benar. Janganlah sampai menolak, meskipun itu boleh.
Sebagaimana Ust. Cah mengajak berbahagia dengan satu istri, tidak berarti ia melarang para suami berpoligami.

Berserah lebih selamat, bagi saya, karena saya – dan banyak ikhwah lainnya- telah membuktikan keselamatan ini. Memilih untuk tidak memilih, mengadukan cinta kepada Allah kemudian berserah ketika Allah memilihkan ia atau yang lebih baik untuk saya, bukannya menolaknya. Inilah yang saya lakukan kemudian saya tuliskan pengalaman ini, sepengetahuan dan sepemahaman saya. Maka tidak usah mengatakan bahwa seseorang tidak mampu mempertanggungjawabkan apa yang ditulisnya, sedangkan dirinya sendiri juga belum tentu mampu.

Sesungguhnya semua orang dapat diambil dan ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah SAW.

Wallahu a’lam bishowab.

No comments:

Post a Comment

Jazakumullah khairan katsira...
Makasih banyak ya, sudah meninggalkan jejak di blog ini.
Have a nice day ^^