Semenjak pindahan blog, saya jadi berasa kagok lagi kalau menulis. Seperti pindah ke kamar baru dan belum 'kerasan' dengan suasana baru... Padahal -honestly- saya sepertinya lebih menyukai suasana 'kamar baru' ini.
Mungkin saya merindukan komen-komen dari temen-temen yang mengapresiasi tulisan-tulisan saya di blog terdahulu. Jika sudah banyak teman, tentu banyak juga yang 'liat' dan berkomentar. Kalau disini, karena masih 'anak baru', jadi saya juga masih punya sangat sedikit teman.
Di blog terdahulu, saya bisa melihat tulisan semua orang yang saya suka di menu "Inbox". Saya tinggal membuat checklist siapa yang ingin saya lihat tulisan-tulisannya, apakah hanya 'friend' saya, bisa juga 'friend of friend', atau bisa juga 'all' (semua). Di blogger ini, saya masih nyari-nyari gimana cara ngeliat tulisan-tulisan orang lain, selain yang sudah saya "follow" tentunya. Any suggestion?
Semoga saya bisa secepatnya beradaptasi dengan kamar baru yang lebih bagus ini...
^_^
Thursday, September 27, 2012
Friday, September 7, 2012
Diskusi Kemarin

Kami sedang membahas kata-kata Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam Hadist Tsulasa hal 629, "Kehidupan
rumah tangga adalah "hayatul 'amal". Ia diwarnai oleh beban-beban dan
kewajiban. Landasan kehidupan rumah tangga bukan semata kesenangan dan
romantika, melainkan tolong menolong dalam memikul beban kehidupan dan
beban da'wah..."
Tentu berbeda kehidupan rumah tangga
sepasang manusia yang menikah karena 'cinta' dengan mereka yang menikah
karena Allah, yang dipertemukan di jalan da'wah, yang kalau boleh kita
sebut mereka sepasang da'iyah. Seperti yang dikatakan Imam syahid,
mereka punya beban tambahan, yakni beban da'wah. Inilah yang
membedakannya dengan pasangan pada umumnya yang mungkin hanya memikirkan
anak, istri, dan keluarganya saja, pasangan da'iyah juga harus
memikirkan ummat.
Bersatunya dua orang mujahid seharusnya
menjadikan rumah tangga itu menjadi rumah tangga yang produktif dengan
kontribusi maksimal, yang insyaAllah juga menjadikan rumah tangga yang
berberkah. Saling ta'awun menyebabkan orang tua yang sibuk mengurus
ummat tidak mengabaikan da'wah kepada keluarga sendiri, terutama
anak-anak. Berbagi tugas, saling mengerti dan memahami, saling bantu,
wajib hukumnya agar da'wah keluarga dan da'wah masyarakat bisa berjalan
seiring, tidak harus mengorbankan satu sama lain.
Baiklah, sebenernya bukan ini yang mau saya bahas ^_^ ...
Kemarin
dalam diskusi, tiba-tiba kami menyadari sebuah fenomena yang mungkin
banyak melanda keluarga da'iyah. Yang terjadi malah bertentangan dengan
ungkapan Imam Syahid di atas. Entah karena terlalu memahami maksud
ungkapan tersebut atau karena tidak memahaminya sama sekali.
Mereka
tidak bermasalah dengan pembagian beban da'wah, namun justru berkendala
dengan "kesenangan dan romantika". Saking sibuknya ngurusin ummat,
ber-romantis-romantis ria dengan istri/suami malah sering terlupakan.
Bagaimanapun istri/suami juga orang yang senang akan hal-hal yang
romantis. Bukannya mereka tidak ridha akan sibuknya pasangannya dalam
da'wah masyarakat, tapi sesekali perlu refreshing juga.
Suami/istri
adalah orang yang akan menemani hidup kita sepanjang sisa umur kita.
Anak mungkin hanya akan bersama kita ketika mereka kecil. Saat mulai
sekolah maka dunianya sudah berpindah ke teman-temannya, begitu juga
ketika menikah maka dunianya adalah suami/istri dan anak-anaknya. Tapi
suami/istri akan menemani kita menghabiskan seluruh episode hidup kita.
Maka
cinta itu harus dipelihara. Jangan biarkan ia berlalu seiring
berlalunya waktu. Mungkin cinta bermetamorfosis menjadi 'tanggung
jawab', 'kesetiaan', 'pengabdian', tapi tidak menjadikannya lelah untuk
selalu dipupuk, disegarkan, diperbaharui.
Keromantisan tidak
selalu berbentuk bunga, kata-kata puitis, atau candle light dinner. Dia
bisa berupa ikut menemani masak di dapur, membuatkan secangkir teh, atau
mendengarkan ceritanya tentang hal-hal yang tidak begitu penting.
Perhatian kecil sangan berarti bagi pasangan.
Kadang dengan
bertambahnya usia permikahan, psangan merasa tidak perlu lagi
mengungkapkan rasa sayang seperti pasangan yang masih baru. Padahal
justru itulah yang harus diusahakan, merasa selalu seperti pengantin baru.
Jangan
pelit dengan kata 'sayang', jangan kikir dengan perhatian kecil, yang
sungguh, jika ia senantiasa kita pelihara, maka semakin lama, semakin
lanjut usia pernikahan, semakin berkobar juga cinta kita.
Kalau
boleh saya meralat sedikit kata-kata di atas, "Landasan kahidupan rumah
tangga bukan semata berbagi beban kehidupan dan beban da'wah, melainkan
juga kesenangan dan romantika."
(Tulisan
ini khusus untuk yang mungkin mulai layu cintanya, dan sungguh,
sebenarnya saya juga masih terus belajar untuk menjadi romantis dan
semoga mampu mampu terus memelihara cinta saya dan mengobarkannya.
Wallahu a'lam)
Mba Atiya
Tak seperti Ramadhan-ramadhan sebelumnya, Ramadhan tahun ini di
kompleks kami tidak lagi ada tenda dadakan yang dipakai untuk shalat
tarwih. Biasanya disamping aula kompleks kami selalu ada tenda yang akan
dipakai untuk shalat tarwih bagi warga kompleks, meskipun di depan
kompleks ada masjid. Pesertanya ya semua warga kompleks yang pengen
shalat deket rumah, baik bapak-bapak maupun ibu-ibu. Yang paling banyak
adalah ibu-ibu tua (karena susah jalan ke masjid) atau ibu-ibu muda yang
ga bisa shalat tanpa buntut (anak-anak kecil, yang kadang suka
lari-larian atau ribut di masjid). Untuk tahun ini, dengan berbagai
pertimbangan akhirnya diputuskan bahwa hanya aula yang dipakai untuk
shalat tarwih, dan hanya diikuti oleh ibu-ibu. Untuk yang bapak-bapak,
silakan shalat di masjid saja.
Sehubungan dengan itu, ada sebuah pe-er yang tidak sengaja diberikan ke saya, yaitu mencari imam tarwih perempuan. Nah, kalo ini sih, sebenernya, ada banyak temen yang bisa dimintai tolong. Alhamdulillah sebulan ini sudah ada banyak imam tarwih yang bersedia datang ke kompleks kami.
Malam ke-3 Ramadhan, kompleks kami kedatangan imam tarwih yang istimewa. Ketika diimami beliau, ada yang berbeda rasanya. Tibalah waktu kultum (tausiyah singkat) yang biasa dilakukan setelah tarwih sebelum witir. Dan seperti imam-imam sebelumnya, sang imam diminta untuk memperkenalkan diri.
Namanya Atiya, umurnya baru 26 tahun (masih tua-an saya ^_^), asal Banjarmasin. Ternyata beliau sudah hafidz 30 juz, lulusan universitas Mesir (tidak dikatakan universitas apa), dan sekarang sedang lanjut S2-nya di perguruan tinggi di bilangan Ciputat. Aktifitas sekarang (selain kuliah) adalah ngajar qur’an dan tahfidz di salah satu lembaga tahfidz di pondok cabe. “Silakan bu yang mau belajar ngaji sama saya. Gratis bu. Karena saya dulu juga sekolahnya gratis.” Begitu katanya sambil tersenyum. Beliau juga belajar ngajinya dengan metode … (klo ga salah ‘al ashim’, saya lupa namanya) dari ustadz yang ‘tersambung’ hingga ke Rasulullah saw.
Saya memandangnya dengan takjub ketika dia memperkenalkan diri. Selama ini orang-orang seperti mba ini hanya ada dalam imajinasi saya ketika saya membaca novel-novelnya Kang Abik (seperti Ana Althafunnisa ‘Ketika Cinta Bertasbih’). Tapi sekarang saya bertemu muka langsung. Bacaan ketika ia mengimami kami pun berbeda. ‘Lagu’-nya tak mendayu-dayu seperti Ghomidi, tapi lancar seperti dia membaca alqur’an di depan matanya. Dibanding saya, yang surat pendek saya kadang ada ayat-ayat yang masih tertukar, atau harus diam sebentar untuk mengingatkan lanjutan ayat. Dia sudah hafal 30 juz, sedang saya? Juz 30 saja masih sering hilang timbul… hehehe…
Ada api membara yang ada dalam dada saya ketika pulang ke rumah. Selain ingin memperbaiki bacaan dan hafalan saya, ingin sekali rasanya ada anak-anak saya yang mengikuti jejaknya. Sekolah di universitas islam tertua di dunia, universitas Al-Azhar di Mesir, kemudian pulang untuk membagi gratis ilmu-ilmu agamanya untuk ummat ini… Seperti Ana Althafunnisa atau Atiya :)
Aamiiin ya Rabb…
Sehubungan dengan itu, ada sebuah pe-er yang tidak sengaja diberikan ke saya, yaitu mencari imam tarwih perempuan. Nah, kalo ini sih, sebenernya, ada banyak temen yang bisa dimintai tolong. Alhamdulillah sebulan ini sudah ada banyak imam tarwih yang bersedia datang ke kompleks kami.
Malam ke-3 Ramadhan, kompleks kami kedatangan imam tarwih yang istimewa. Ketika diimami beliau, ada yang berbeda rasanya. Tibalah waktu kultum (tausiyah singkat) yang biasa dilakukan setelah tarwih sebelum witir. Dan seperti imam-imam sebelumnya, sang imam diminta untuk memperkenalkan diri.
Namanya Atiya, umurnya baru 26 tahun (masih tua-an saya ^_^), asal Banjarmasin. Ternyata beliau sudah hafidz 30 juz, lulusan universitas Mesir (tidak dikatakan universitas apa), dan sekarang sedang lanjut S2-nya di perguruan tinggi di bilangan Ciputat. Aktifitas sekarang (selain kuliah) adalah ngajar qur’an dan tahfidz di salah satu lembaga tahfidz di pondok cabe. “Silakan bu yang mau belajar ngaji sama saya. Gratis bu. Karena saya dulu juga sekolahnya gratis.” Begitu katanya sambil tersenyum. Beliau juga belajar ngajinya dengan metode … (klo ga salah ‘al ashim’, saya lupa namanya) dari ustadz yang ‘tersambung’ hingga ke Rasulullah saw.
Saya memandangnya dengan takjub ketika dia memperkenalkan diri. Selama ini orang-orang seperti mba ini hanya ada dalam imajinasi saya ketika saya membaca novel-novelnya Kang Abik (seperti Ana Althafunnisa ‘Ketika Cinta Bertasbih’). Tapi sekarang saya bertemu muka langsung. Bacaan ketika ia mengimami kami pun berbeda. ‘Lagu’-nya tak mendayu-dayu seperti Ghomidi, tapi lancar seperti dia membaca alqur’an di depan matanya. Dibanding saya, yang surat pendek saya kadang ada ayat-ayat yang masih tertukar, atau harus diam sebentar untuk mengingatkan lanjutan ayat. Dia sudah hafal 30 juz, sedang saya? Juz 30 saja masih sering hilang timbul… hehehe…
Ada api membara yang ada dalam dada saya ketika pulang ke rumah. Selain ingin memperbaiki bacaan dan hafalan saya, ingin sekali rasanya ada anak-anak saya yang mengikuti jejaknya. Sekolah di universitas islam tertua di dunia, universitas Al-Azhar di Mesir, kemudian pulang untuk membagi gratis ilmu-ilmu agamanya untuk ummat ini… Seperti Ana Althafunnisa atau Atiya :)
Aamiiin ya Rabb…
Me and Coffee

Sampai suatu ketika, tubuh saya bereaksi. Saking ketagihannya, saya pernah minum kopi-mix ini dua kali sehari. Pagi pas sarapan udah seduh kopi, dan sore sambil menunggu jam pulang.
Satu bulan lebih saya ketagihan minum kopi pagi dan sore. Keputus gara-gara Ramadhan, sehingga saya tidak bisa meneruskan kebiasaan ini. Tidak lama, mulailah keluhan itu. Awalnya seperti salah makan (kebanyakan cabe, semacam itulah), sehingga (maaf) BAB-nya jadi encer, seperti diare. Hanya saja, tidak berhenti dalam beberapa hari. Keluhan ini berlanjut hingga sebulan lebih. Akhirnya saya memeriksakan diri ke dokter.
Ditanya macem-macem saya jawabnya selalu "Engga". Sampai konsul selesai, saya belum menemukan apa penyebabnya. Tapi tetep dikasih obat. Sesampai di rumah, ada satu pertanyaan dokter yang menggelitik saya, "Ibu suka makan karbohidrat kompleks ya?"
Karbohidrat kompleks maksudnya kalo kita makan nasi beserta lauk pauknya, tapi karbohidrat semua, misal: makan nasi, lauknya kentang dan mie goreng, sayurnya jagung. Nah, itu satu porsi kan karbohidrat semua, tanpa (atau sedikit) protein, vitamin, dll zat yang diperlukan tubuh.
Ketika ditanya saya jawabnya engga, karena saya suka sayur, lauk juga jarang pake kentang atau hanya mie (klo saya makan mie pasti tanpa nasi). Setelah menanyakan pada dokter, saya baru tahu ternyata kebanyakan karbohidrat (which means zat gula) bisa menyebabkan gula menumpuk di usus. Gula bersifat menyerap air. Itulah yang menyebabkan BAB menjadi encer.
Setelah berpikir, meskipun juga tidak begitu pasti bahwa penyebabnya adalah ini (bisa mecem-macem, hanya bisa menebak), saya mencoba menyimpulkan bahwa kegemaran saya minum kopi tiap hari itulah yang menyebabkan hal ini. Secara kita tahu sendiri, kopi instant banyak mengandung gula 'tingkat tinggi' alias sakarin (semacam itulah). Semenjak saya menghentikan kebiasaan minum kopi terlalu sering ini, keluhan ini tak pernah datang lagi. Ketika masuk D4, kebiasaan ini hilang sama sekali. Ya, paling sesekali kalo lagi kepengen aja, dan (lumayan agak sering) ketika ngerjain skripsi ^_^V hehe... (meski ga tiap hari)
Beberapa waktu lalu tak sengaja saya menemukan artikel kesehatan yang bilang bahwa kopi dapat menyebabkan iritasi kandung kemih juga. Mulai ngantor lagi menyebabkan keinginan minum kopi kembali menggoda. Ya, saya sempet beli satu pak kopi-mix lagi. Tapi, entah karena saya baca artikel itu atau memang lagi-lagi karena kopi ini, kandung kemih saya memang lagi sakit. Akhirnya sisa sachet-an kopi yang ada di laci saya kasih ke temen-temen. Sampai sekarang saya belum berani mencoba minum kopi lagi.
Well, saya tidak sedang menakuti anda supaya jangan minum kopi. Kondisi tubuh tiap orang berbeda-beda, hanya saya sepertinya tubuh saya agak tidak bersahabat dengan minuman yang satu ini.
Just sharing ^_^
Nulis Buku

Hmm...
Menarik sekali mendengar penjelasan dari si empunya situs mengenai
bagaimana cara biar punya buku sendiri. Tinggal upload naskah, ga usah
nunggu berbulan-bulan nunggu apakah naskahnya diterima ato malah ditolak
oleh penerbit. Cover-pun bisa desain sendiri... Wow!!!
(teknisnya
ga terlalu merhatiin tadi, yang jelas masalah kualitas tulisan tidak
ditentukan penerbit, melainkan masyarakat penikmat tulisan itu. Penerbit
akan selalu menerbitkan buku yang diminta, sesuai demand)
Sebenernya
saya hanya seneng nulis aja, sekedar hobi, tapi ga serius. Sebagian
besar tulisan tidak dimaksudkan untuk apa-apa, kecuali hanya pengen
nulis aja. Menuangkan teriakan-teriakan yang berputar dan memekakkan
kepala aja...
Tapi punya buku sendiri, dengan
nama "Nina Sabnita" (apa mungkin lebih baik pake nama pena gitu?) adalah
impian saya dari dulu. Sebenernya ga pede dengan tulisan-tulisan saya,
tapi who knows? Seperti Chicken Soup for The Soul yang ditolak sekian
ratus penerbit, ternyata sekarang... luar biasa... (yaaah, setidaknya
ini jadi pemicu untuk menghasilkan tulisan yang agak mutu lah)
Tulisan-tulisan
di blog ini, menurut saya sih, ga terlalu mutu untuk dinikmati banyak
orang. Dulu pengen bikin cerpen, tapi terus terang saya juga ga jago
nulis fiksi. Tulisan ilmiah? Ntar dulu deh (bisa kena di metodologi
penelitian ntar... hehe...) Jadi apa dong? (ga jelas nih)
Intinya
adalah cuma mau bilang bahwa entah kenapa liputan tadi pagi itu begitu
menggugah saya. Ada sesuatu yang menggeliat dalam hati kecil saya,
keinginan bahwa tulisan-tulisan saya bisa dinikmati banyak orang, bisa
memberikan inspirasi dan ilmu bagi orang lain, berda'wah lewat tulisan
(meski masih merasa kerdil).
Publish my dream? Bismillah aja deh :)
Unstoppable

Adalah
Frank Barnes (Denzel Washington) supir kereta dengan dedikasi 28 tahun,
bersama Will Colson (Chris Pine) konduktor yang baru masuk mengendarai
kereta bernomor 1206 yang membawa sekitar 750 meter gerbong
dibelakangnya. Kereta lain bernomor 777 yang tanpa masinis ini, bergerak
berlawanan arah dengan kecepatan penuh yang kemudian menjadi tokoh
utama cerita. Singkat cerita, setelah berhasil menyelamatkan keretanya
sendiri agar tidak bertabrakan dengan 777 (menepi di rel 2 jalur), Frank
dan Will melepaskan ikatan lokomotif dengan gerbongnya dan kemudian
mengejar kereta 777 dari belakang untuk mengurangi kecepatan kereta tsb
agar tidak terjatuh ketika melalui lintasan rel berbentuk kurva di
sebuah kawasan industri. Bisa ditebak, kedua orang yang tidak
mendapatkan restu ketika ingin menyelamatkan kereta tsb, akhirnya
menjadi pahlawan.
Tidak ingin me-review film ini
(makanya saya ngga nulis di kategori review). Alur cerita mudah ditebak,
tapi dikemas dengan apik sekali sehingga tidak membosankan, justru
semakin tegang hingga akhir cerita.
Saya
suka sekali cerita tentang kepahlawanan, khususnya pahlawan-pahlawan
real disekitar kita. Pernah nonton "Unbreakable"? Cerita ini masih
membekas dalam ingatan saya, selain karena dimainkan oleh Bruce Willis
dan Michael L. Jackson (favorit saya), tapi jalan cerita yang menarik,
tentang kepahlawanan.
"Die Hard" (1 sampai 4)
belum bosen saya tonton. Tiap kali tayang di tv, kalo sempet, pasti saya
usahain nonton. Jalan ceritanya mungkin muluk2 ya (how come? Satu orang
ngelawan komplotan?) The point is, bagaimana yang satu orang ini
'peduli' dan berjuang. Di Die Hard 4, salah satu dialog yang masih saya
ingat,"kenapa kamu mau melakukan semua ini?" dan John Mc.Clane (Bruce
Willis) menjawab,"Karena orang lain ga ada yang mau melakukannya."
Well, that's make someone a hero, right?
"A
Few Good Man" (Tom Cruise dan Demi Moore) juga bagus. Ohya, inget film
ini, inget barusan juga saya nonton film "Puncture" (Chris Evans). Kedua
film ini tentang pengacara yang membela sesuatu yang ia yakini meski
mustahil menang. Tidak terlalu suka jalan cerita film Puncture ini, tapi
pesennya dapet banget. Kisahnya berawal dari seorang perawat yang
terinfeksi AIDS karena menggunakan jarum suntik yang tidak aman, yang
digunakan oleh semua rumah sakit di AS sana, padahal ada jarum suntik
yang aman -hanya saja harganya lebih mahal. Kasus menjadi kompleks
karena yang dilawan adalah penyedia produk kesehatan besar (yaaa... tau
sendiri lah birokrasi penyediaan barang dan jasa...). Si perawat
akhirnya meninggal karena AIDS, si pengacara pun (menurut ceritanya)
meninggal dibunuh, meskipun akhirnya kasus ini dimenangkan oleh
partnernya, sehingga seluruh perawat di AS bisa tenang bertugas karena
sudah menggunakan jarum suntik yang aman.
Sebenernya
ada satu lagi film pengacara sejenis, membela seorang pemuda yang sakit
melawan perusahaan asuransi besar (ah, saya lupa judul dan pemainnya).
Mereka adalah pahlawan.
Hmm.... Sepertinya kita
bisa mengambil kesimpulan ya, ada beberapa hal yang dipunyai oleh
seorang pahlawan. Dan salah satunya adalah never give up, terus
berjuang, hingga takdir menentukan apakah ia akan menang atau mati dalam
perjuangannya...
:)
Episode Sidang

Sidang ternyata tak se’seram’ kelihatannya…
Begini ceritanya…
Seperti
yang sudah saya janjikan sebelumnya, sekarang saya akan menceritakan
pengalaman sidang pertama saya (semoga masih ada sidang kedua, ketiga…
untuk ‘S’ – ‘S’ selanjutnya ^_^)
Well,
hari-hari menjelang sidang, mungkin hari paling ‘horrible’. Stress dan
kawan-kawannya bener-bener ngumpul jadi satu. Nervous, panik, takut,
gugup, semua nyampur. Meski segala upaya sudah dilakukan, belum bisa
mengurangi tingkat stress menjelang sidang. Beberapa upaya itu antara
lain:
1. 1. (Tentu saja) Belajar!
Sejak
pengumuman jadwal sidang launching, saya juga mulai menjadwal pola
belajar saya. Berhubung saya dapet pekan kedua (yang berarti 2 pekan
lebih dari pengumpulan skripsi) berarti masih cukup waktu untuk membaca
kembali pelajaran-pelajaran semester kemarin. Saya sudah setting untuk
mempelajari pelajaran yang saya kurang saya kuasai di satu pekan sebelum
sidang, yang cukup saya kuasai beberapa hari menjelang sidang, dan
review skripsi sehari menjelang sidang. Saya sedang puncak-puncaknya
stress di H-2, dan ketika H-1 pengumuman jadwal sidang saya diundur,
stress langsung melorot ke titik paling bawah (buku, modul, print-an
yang udah dikumpulin, beberapa hari tak tersentuh gara-gara pengunduran
itu ^^) Bagusnya, ketika mood sudah balik lagi, belajarnya jauh lebih
tenang
2. 2. Nyari-nyari informasi
Alhamdulillah
saya seangkatan dengan orang-orang yang sangat care dengan temannya.
Prinsip kami, masuk bareng-bareng, lulus bareng-bareng. Angkatan saya
bikin group di fb untuk memudahkan komunikasi , semua pengumuman,
informasi, segala hal yang terjadi diinformasikan disana. Kami juga
bikin docs untuk data-data tertentu, seperti profil dosen penguji
(testimoni maksudnya ^^ biar siap menghadapi karakter dosen),
permasalahan skripsi, sampe kumpulan pertanyaan dosen penguji lengkap
dengan jawabannya (jadi setiap orang yang sudah menjalani sidang wajib
ngisi docs pertanyaan apa saja yang ditanyakan dosen). Ini sangat
membantu sekali untuk yang akan menjalani sidang lho, minimal ketika
bisa mengira-ngira pertanyaan apa yang akan ditanyakan (karena kadang
dosen ‘kurang’ kreatif sehingga pertanyaan yang diajukan sama) tingkat
stress sedikit berkurang. Tapi group ini juga kadang bikin tambah
stress, karena tiap hari temen-temen pasti lapor “alhamdulillah gan, ane
udah lulus!”, “ xxx, SST, PTB sertified by Mr. PTB”, “aku lulus maak!”,
“alhamdulillah ya, sekarang sudah jadi SeSuaTu”, “hari ini sapu bersih.
A, B, C, lulus dengan sukses”, dan kalimat senada lainnya. Bikin
geregetan dan ngiri juga, mereka udah pada lega dan saya masih berkutat
dengan stress…
3. 3. Jaga kesehatan
Beberapa
hari menjelang sidang saya rutin minum habbassauda, redoxon,
cerebrovit, bahkan air zamzam oleh-oleh naik haji ibu mertua pun saya
habiskan.
4. 4. Berdoa
Klo
yang ini, jauh-jauh hari sudah jadi kebiasaan. Bahkan Ramadhan tahun
ini, mungkin porsi terbesar doa-doa saya adalah tentang skripsi dan
sidang. Seperti biasa klo ujian atau stress, mesti ibadahnya mengalami
peningkatan (kebiasaan manusia ya, kalo butuh sama Allah baru rajin
ibadah :P )
Hari-H pun tiba. Alhamdulillah ada
suami tersayang yang bersedia meluangkan waktunya untuk nemenin sidang
(tadinya saya malu, “ga usah lah bi, umi sendiri juga gapapa”. Tapi
sebagian besar temen-temen saya yang udah punya suami ternyata ditemenin
suaminya juga, jadi saya pun mengijinkan ^_^)
Jadwal
sidang saya jam 15.00 sebenernya, kloter terakhir di hari itu (nungguin
1 dosen yang juga menguji 3 kloter sebelumnya). Setelah sarapan, minum
habbassauda, cerebrovit, dan air zamzam, membawa semua yang diperlukan
di tas, saya dan suami pun berangkat. Sekitar jam 11 saya sudah sampai
di Student Center, jaga-jaga siapa tau ada perubahan jadwal (seperti
temen saya beberapa hari sebelumnya, jadwal jam 3 sore dimajukan jadi
jam 1).
Ruangan sidang berdinding kaca, jadi
bisa dilihat dari luar. Posisi dosen menghadap ke luar dan mahasiswa
menghadap ke dosen, membelakangi pintu dan dinding kaca. Posisi yang
cukup bagus, tidak memecah konsentrasi. Pengunjung di luar bisa melihat
apa yang terjadi di dalam. Ngobrol sebentar dengan calon SST yang lagi
nunggu pengumuman, ternyata baru 1 kloter yang akan selesai. Berarti
jadwal sidang sepertinya tidak berubah, jam 15.00.
Setelah
shalat di masjid kampus dan makan siang di warung, kami kembali ke
tempat sidang. Sambil review apa-apa yang sudah dipelajari, saya
jalan-jalan melihat Student Center yang ternyata tidak sebesar yang saya
bayangkan, hanya lebih besar sedikit dibanding gedung G, hanya saja
dengan parkiran lebih luas. Berusaha menurunkan stress dengan mensugesti
diri (membayangkan ini hanya diskusi biasa dengan atasan di kantor),
hingga tiba waktunya masuk ke ruangan sidang.
Akhirnya
waktunya pun tiba. Diawali dengan presentasi 5 menit (yang sudah saya
latih dengan suami tadi malam) sambil memberikan resume skripsi kepada
setiap dosen (yang ternyata hanya dilihat sekilas). Pertanyaan pun
dimulai. Well, secara keseluruhan saya bisa menjawab hampir semua
pertanyaan (yang semua berkisar SIM, audit SIBK, dan TI, tidak ada teori
akun, pajak, pasar modal, akpem, akmen, keuangan publik dll … fyuh!).
Ada 1 pertanyaan yang saya tidak bisa jawab sama sekali dan beberapa
jawaban tidak tepat. Secara keseluruhan, oke lah. Dan ketika sidang
selesai, saya pun bisa keluar dengan hati cukup tenang dan pasrah dengan
berapa pun nilainya (meski masih berharap dapet A ^^).
Akhirnya saya pun dipanggil untuk yang kedua kalinya (pengumuman hasil sidang).
“Baiklah nina…
Karena ada beberapa pertanyaan yang tidak terjawab,
Maka, mohon maaf ya,
Kami tidak bisa meluluskan anda…
dengan nilai A!
Jadi A- ya… “
“Alhamdulillah, terima kasih pak!”
Kata-kata ini masih lekat dalam ingatan saya sampai sekarang.
Ya Allah, alhamdulillah, akhirnya saya lulus juga.
Ada
banyak revisi sebenernya, tapi semua tentang penulisan. Banyak kalimat
janda (itu sebutan pak dosen untuk poin yang berada di posisi paling
bawah kertas sementara penjelasannya ada di halaman berikutnya), margin
(waktu ngeprint, properties printernya ngga saya ganti ke A4, masih
letter, jadi margin bawah yang harusnya 1,5’’ jadi kelebihan), dan
teknis-teknis lain. Terakhir, masing-masing dosen gantian memberikan
tausiyah, dan yang paling saya ingat (karena diulang berkali-kali)
adalah “Jaga nama baik almamater!”.
Keluar
ruangan membawa 4 bundel skripsi, hati saya lega setengah mati. Dengan
wajah cerah dan senyuman, saya pun lapor ke suami yang masih setia
menunggu,”A min (A-) bi”
Tadinya udah
ngerencanain makan dimana untuk merayakan kelulusan saya, tapi entah
kenapa hati yang plong dan pikiran lega udah ga kepengen apa-apa lagi.
Cuma pengen cepet-cepet nyampe rumah dan rebahan. Seperti batu segede
gunung yang biasa saya pikul di punggung tiba-tiba hilang. Hari
berikutnya, sebagian besar waktu saya habiskan dengan rebahan di tempat
tidur (mencoba tidur meski ga bisa –biasalah ributnya anak-anak).
Well,
that’s it. Cerita sidang saya. Istimewa, mungkin karena pertama,
mungkin karena di STAN (soalnya denger testimoni beberapa lulusan D4
STAN dan sudah S2 bilang, kuliah paling berat di STAN!). Sidang memang
tak se’seram’ kelihatannya, ‘serem’ itu nungguinnya, begitu masuk
ruangan udah pasrah dan enjoy aja…
Semoga bermanfaat ^_^
November 2011
Episode Skripsi

Semester 7-8-9 pun dilalui dengan lancar jaya, IP juga diatas ekspektasi. Enjoy the learning process...
Semester pamungkas, semester 10.
Pertama,
bikin outline. Well, sebenernya bingung juga mau ngambil apa. Sempet
kepengen ngambil keuangan publik atau manajemen instansi pemerintah
berbasis kinerja. But i hate SPSS or eviews (ga mau bergantung kepada
sesuatu yang saya ga bisa kontrol, karena bahkan setelah mata kuliah
metodologi penelitian saya tetep ga bisa mengoperasikan aplikasi ini).
Jadi pilihan tinggal desain. Dan desain berarti mata kuliah sistem
informasi manajemen.
Okay, ada sistem informasi pengaduan pajak yang bisa diteliti.
Maju
ke dosen pembimbing dengan outline ala kadar, deg-degan karena sebelum
saya sudah 2-3 orang temen yang meminta beliau untuk menjadi dosbing dan
ditolak. Beliau bilang,"Menarik!" dengan sedikit revisi di sana sini.
Lanjut
ke Komite Penilai Outline. Ketemu dosen yang ngerti SIM, sudah
menerbitkan banyak buku, dan menemukan bahwa saya terlalu nekad ngambil
materi ini (bahasanya ga begitu sih... dia bilang: saya belum terlalu
jelas mba ini mau bikin apa... -dan dia menjelaskan 'kejelasan' yang
diminta. Mba baca buku ini dulu -sambil menyebutkan salah satu buku yang
tercantum dalam daftar pustaka, abis itu balik ke saya lagi ya...)
Dengan
perjuangan yang dimudahkan Allah, saya akhirnya dapatkan buku yang
dimaksud. Membaca sekilas sambil membolak balik buku "Desain dan
analisis SI ...." setebal 7-10 cm itu membuat saya 'tercerahkan'.
Beneran, semua ada di buku itu. Ga perlu buku lain, cukup ini aja cukup.
Kembali
ke bapak dosen KPO dan outline pun di ttd. Terima kasih pak, tanpa
berdiskusi denganmu, entah bagaimana jadinya skripsi saya...
Penyusunan
skripsi pun dimulai. Ramadhan menjelang. Ah, pilihan yang sulit.
Akhirnya keputusan pun diambil. Liburan dulu, pulang ke Payakumbuh,
lupakan skripsi dulu. Baru bab 1 dan separuh bab 2, skripsi pun break
dulu. (Lebaran sambil mikirin skripsi? hmmm... klo dibawa pulang pun,
yakin ga bakalan dikerjain, mending ditinggal sambil persiapan 'kerja
keras' setelahnya)
Kembali ke jakarta, kembali
ke skripsi. Seminggu baru bisa menyelesaikan bab 2 yang ternyata jadi
terlalu banyak. Takut kena proporsi, tapi jalan terus.
Konsul pertama, dosen ngingetin tenggat waktu yang tinggal kurang dari sebulan...
Kemudian
baru sadar bahwa surat ijin riset belum diserahkan ke objek (karena
objeknya instansi sendiri, jadi lalai). Ketika menghadap ke kepala seksi
terkait, something bad happen. Ibu kasi ga setuju dengan materi skripsi
saya. "Kami juga sedang mengerjakan hal ini, kalo kamu bikin materi
ini, seolah-oleh saya ga kerja apa-apa"... something like that... "Tapi
bu, waktu saya terbatas. Saya ga mungkin ganti objek atau ganti judul
untuk waktu yang sempit ini". "Ya saya sebenarnya ga masalah dengan
ini... (jawaban diplomatis)... tapi kamu cari kelemahan yang lain aja,
jangan yang itu!"
Saya stuck. Sekian jam beradu
argumen dengan ibu kasi, tanpa hasil. Kembali ke temen-temen call
center, minta solusi. Akhirnya 3 alternatif pun dikonsultasikan kepada
dosbing esok harinya. Tetep jalan terus dengan rencana yang kemarin (dengan resiko 'berurusan' dengan ibu kasi di kemudian hari), cari kelemahan lain (seperti yang diinginkan bu
kasi), atau ganti judul. Saya sudah konsul dengan banyak orang di call
center, termasuk kasi lain yang mau saya garap sistem informasinnya.
Adalah sistem informasi kring pajak, yang masih berupa konsep (bahkan
direktur pun belum tau), yang akhirnya saya jadikan objek menggantikan
sistem informasi pengaduan pajak. Memang hanya mengganti 1 kata saja,
tapi... you know lah...
Tiga minggu, waktu yang
saya butuhkan untuk menyelesaikan bab 3 dan bab 4, juga bab 5 yang
hampir kelupaan (karena bab 2-nya sama persis, alhamdulillah), plus
merevisi sedikit bab 1.
Konsul ke dosbing, komennya,"Ini
beneran kamu yang bikin?"
hehehe... waktu itu pengen jawab,"masa sih pak
sebagus itu?"
tapi yang keluar,"100% bikin sendiri pak :)"
Masih
lancar jaya, hingga langkah selanjutnya, dosen penilai teknis. Mungkin
ini yang paling menghabiskan energi. Pikiran mungkin ga terlalu, karena
dari sisi substansi tulisan sudah ga ada masalah. Tinggal tulisan,
paragraf, huruf besar, huruf miring, gambar, posisi, dan teknis-teknis
lainnya. Datang kamis, disuruh ngambil senin. Senin ke ruangannya dan
tidak menemukannya di sana (lagi ke lapangan banteng, kata mba satpam
yang baik itu). Esok paginya kesana lagi, juga tidak menemukannya (ke
Purnawarman, kata mba yang cantik). Rabu pagi ke sana lagi, akhirnya
ketemu. Skripsi belum di'sentuh', akhirnya minta ttd surat permohonan
penundaan. Diminta kembali besok sore. Kamis sore ke sana, good news;
bapaknya ada, bad news: bapaknya kaget "Bukannya saya suruh besok sore
ya?". "Bukan pak, sore ini, besok saya janji ke sekre udah ngumpulin
skripsinya". Akhirnya jumat pagi, benar-benar diperiksa. Kena di
proporsi dan harus mengurangi 30 halaman skripsi (sebagiannya pindah ke
lampiran).
Tiga hari setelah deadline, akhirnya saya berhasil mengumpulkan skripsi rangkap 4 ke sekre dan bersiap untuk sidang.
Tadinya
masih lancar-lancar saja, hingga pagi ini menemukan di jadwal sidang
terbaru (yang harusnya saya sidang besok kamis, 24 november 2011, pukul
10.30), di kolom hari, tanggal, dan tempat sidang untuk saya kosong
melompong.
Usut punya usut, ternyata bapak
dosbing tercinta ga bisa nguji pekan ini. Akhirnya harus bersabar hingga
pekan depan. (tadinya sudah punya segudang rencana setelah 'lulus'
sidang, membayangkan hati dan pikiran yang stress akan lega dan tenang
tinggal 1 hari lagi... ternyata Allah menentukan lain...)
Abis ini pengen cerita episode sidang yang (pastinya) menegangkan yang penuh cerita. Tunggu kisah selanjutnya :)
Nostalgia

Kemarin
baru saja bongkar-bongkar lemari, nyari SK CPNS yang tiba-tiba saja
tidak ada di dalam tas berkas tempat saya biasa menyimpan berkas-berkas
penting. Alhamdulillah akhirnya nemu selembar SK CPNS yang meski udah
agak kumal, menyebabkan saya ga jadi ke kantor untuk minta berkas itu.
Nah, ga sengaja, saya menemukan buku diary saya dulu. Untuk nostalgia,
saya pun membacanya dengan khusyu' :P
Kebetulan
ini buku diary ini adalah buku yang saya tulis ketika saya dulu selesai
kuliah. Ada cerita magang, prajab, penempatan defenitif, masa-masa
penantian, masa-masa galau, dan yang paling menarik ada cerita taaruf,
nikah, dan beberapa saat setelah nikah, lebih dari enam tahun yang
lalu... (tulisan terhenti ketika saya akhirnya mengikuti suami ke kota
Gorontalo, dan sepertinya setelah itu saya ga punya buku diary lagi.
Hingga sekarang...)
Sambil membaca, teringat
kembali betapa masa-masa peralihan dari kuliah ke bekerja, mungkin
menjadi masa yang paling berat bagi saya. Saya merasa tidak cukup sukses
melaluinya, meskipun akhirnya saya masih bisa 'bertahan' hingga detik
ini. Adaptasi yang sangat sulit saya rasakan, karena karakteristik dunia
kampus dan dunia kerja yang begitu berbeda. Da'wah kampus VS da'wah
birokrasi + da'wah sya'biyah. Masa peralihan itu benar-benar sulit...
"Berbulan-bulan,
bahkan sampai sekarangpun aku masih dalam rangka beradaptasi. Adaptasi
yang buruk, menurutku. Sebab, sangat jauh menurun.
Semuanya... semuanya...
Seperti
orang yang ada dalam ruang hampa yang gelap, tak ada cahaya, tak ada
tempat bergantung, tidak pula untuk berpijak, hanya melayang tak tentu
arah... Tak jelas.
Sesekali aku terbangun. Tapi biasanya tak berlangsung lama. Sesekali tersadar, namun segera 'hilang' kembali."
(Whoa... parah juga ternyata saya dulu ya? hehe...)
Dan
tentu saja, yang paling menarik adalah ketika membuka kenangan kembali
masa-masa peralihan dari lajang ke 'menjadi istri orang'. Deg-degannya
ketika terima biodata, malunya taaruf, persiapan pernikahan yang
ternyata begitu complicated, iman yang naik turun, galau pranikah,
tangisan ketika akad nikah, percakapan pertama dengan suami, romantisme
pengantin baru, hingga cerita LDL sampe akhirnya mutasi ikut suami...
Ada
satu halaman yang membuat saya sedikit tercenung. Di halaman itu, saya
tersadar bahwa episode kehidupan saya akan segera berubah (bakti yang
selama ini diberikan kepada ortu beralih kepada seorang lelaki asing).
Sore itu, setelah shalat ashar, saya mengangis tersedu-sedu, sendirian,
lamaaaa sekali. Sebelumnya baru saya menelpon mama-papa tentang
pernikahan. Rasanya sedih sekali meninggalkan mama-papa yang baru saja
saya coba bahagiakan.
"Belum setitik apa
yang ingin kuberikan untuk membalas apa yang telah mereka berikan
padaku. Seandainya melajang seumur hidup itu diperbolehkan, mungkin aku
akan melakukannya biar aku bisa sekuat tenaga hanya untuk mereka dan
adik-adikku. Sungguh..."
Setelah enam tahun
lebih menikah, memang bakti itu tidak sepenuhnya terputus. Masih banyak
jalan untuk membahagiakan mereka. Namun harus saya akui, dalam banyak
hal, saya memang banyak melupakan mereka (pikiran penuh dengan suami dan
anak-anak). Di sisi lain, mama-papa merasa pintu rejekinya lebih
terbuka lebar ketika cucu pertamanya lahir. Semoga kita masih diberi
kesempatan untuk mencoba membahagiakan mereka, karena membalas apa yang
mereka telah mereka lakukan adalah hal yang mustahil. Setidaknya dengan
membuat mereka bahagia dan bangga (semoga) kita dapat memperoleh
ridha-Nya...
#masih melow dengan kenangan lama :)
Celoteh
Kadang pertanyaan mereka begitu lucu dan kritis, yang bikin pusing mikir jawabannya.
Seperti malam ini, setelah cerita tentang nabi Musa yang membelah laut...
Iffah : Umi waktu lahir tanggal berapa alif-iffah?
Umi : Waktu kaka alif-iffah lahir?
Iffah : iyaa
Umi : tanggal 30 april
Iffah : emangnya umi waktu itu perutnya gendut?
Umi : iya, alif iffah kan masih di dalam perut umi...
Iffah : Trus keluarnya dari mana?
Umi : Hahaha....
Iffah : Koq umi ketawa? emang iffah keluarnya dari mana?
Alif : dari perut ya?
Umi (msh tertawa)
Iffah : emang keluarnya darimana umiii?
Umi : iya, ada yang dari perut...
Alif : Emang perutnya di robek?
umi : hahahaha....
Umi : mmm... nanti aja ya kaka iffah, kalo kaka iffah udah besar nanti umi kasih tau (ngeles...)
Iffah : waktu esde?
Alif : waktu kuliah?
Umi : ^_^
Atau percapakan barusan...
Alif : Umi waktu penganten, alif diundang ga?
Umi : Waktu penganten sama abi?
Alif : iyaaa...
Umi : Kan kaka Alif belum ada.
Alif : Koq ga ada? Emang kaka Alif ga diundang?
Umi : Bukan, kaka Alifnya belum ada... (bingung nyari jawabannya)
Alif : Kenapa belum ada? Emangnya kaka alif masih di perut?
Umi : Bukan
Alif : Emang kaka Alif ilang?
Umi : Hahaha... kaka Alif belum ada...
Alif : Koq umi ketawa? emang kaka Alif ilang?
Umi : bukan...
Iffah: Dimana umiiii?
Umi : ????
dan pertanyaan ini diajukan berkali-kali (sepertinya penasaran sekali) hingga saya mengalihkan pembicaraan ke yang lain, menyuruh mereka membaca doa sebelum tidur... ^_^
Selain pertanyaan lucu, ungkapan mereka juga sering lucu.
Saya termasuk yang sulit berimprovisasi, sehingga sering kali dongeng sebelum tidur saya bawakan sambil membaca buku. Tapi tampaknya iffah lebih suka kalo saya bercerita tanpa membaca buku. Mungkin bahasanya lebih fleksibel, ditambah ekspresi dan intonasi yang tak dibuat-buat, tidak seperti ketika membaca bahasa buku yang kaku.
Dan dia selalu meminta dengan,"Umi, iffah mau cerita yang dalam hati, tapi ga baca buku, tapi ada suaranya."
:)
Keterampilan Hidup
Si kembar sekarang sudah 5 tahun, dan si dede udah 3 tahun. Ketiga bidadari mungil saya bahkan sudah besar sekarang. Alif, si kembar yang lahir belakangan, tampaknya lebih dewasa dibanding Iffah kakaknya. Seperti pagi-pagi sebelumnnya, pagi ini pun ritual mandi pagi didahului oleh Alif.
“Udah jam setengah delapan sayang, mandi yuk!” ajak saya, dan tiba-tiba terpikir untuk memberi sedikit reward,”Kalo mandi nanti umi bikinin jus deh.”
“Asyiiiiik!” teriak Alif langsung ke belakang dan membuka bajunya.
“Mandi sendiri ya kaka…” tantang saya.
“Iyaaaa!” Alif berteriak dengan semangat.
“Dede ayo mandi juga,” saya menggandeng tangan dede ke belakang. Terlihat Alif sudah selesai memberi shampo rambutnya dan hampir selesai menyabuni seluruh badannya (kecuali sedikit bagian punggungnya). Sambil membuka baju dede, saya menyemangati Alif,”Wah, kaka alif pintar banget mandi sendiri! Sekalian mandiin dede juga ya kaka?”
“Iya!” jawabnya dengan senyuman.
Dengan cekatan dia langsung memandikan dede. “Mandiinnya pelan-pelan ya sayang…” kata saya mengingatkan, supaya dia ga langsung mengguyur semua badan dede.
Iffah akhirnya terpancing ikut mandi juga, segera mulai mandi sendiri, bahkan selesai sebelum Alif selesai memandikan dede. Mereka benar-benar mandi sendiri. Tak satu percik pun saya ikut serta, hanya mengamati dari jauh saja, sambil menyiapkan handuknya.
Selesai mandi saya melanjutkan delegasi tugas ini.
“Ayo langsung pake bajunya. Kaka Alif pakein baju dede juga ya…”
Tak menunggu lama, Alif langsung mengambil bajunya berikut baju dede, sementara Iffah masih dengan handuknya di depan tivi. Pertama Alif memakaikan bedak ke badan dan punggung dede, lanjut ke badannya sendiri. Kemudian memakaikan celana dalam dede lalu celananya sendiri. Untuk baju, dede kemudian memakainya sendiri juga Alif. Iffah juga memakai bajunya sendiri. Dan saya -sambil menyelesaikan jus mangga untuk mereka- hanya memberikan instruksi dari jauh.
“Punggungnya dibedakin tuh kaka… Dede pintar ya pake baju sendiri… Diputer sayang bajunya, gambarnya yang di depan… Yaa, bener itu di belakang…”
Untuk bagian sisir rambut, Alif bahkan tak perlu diingatkan. Setelah menyisir rambutnya sendiri, Alif langsung menyisir rambut dede. Dan Iffah… hmm… sampe sarapan pagi (yang suap sendiri juga), belum menyisir rambutnya… hehe…
Anak-anak gadis saya juga sudah lama bisa diajak membersihkan mainannya setelah puas bermain hingga ruang tengah seperti kapal pecah. Balok-balok dimasukkan lagi ke tempatnya, juga ke laci-laci, buku-buku kembali disusun di rak. Alif suka menyapu, maka setiap tiba giliran merapikan mainan, ia selalu mengambil sapu dan membersihkan sisa-sisa guntingan kertas, debu-debu dan kotoran, sampai bersih hingga saya tak perlu menyapu ulang ruang tengah.
Sebenernya mereka juga suka bantu-bantu masak di dapur, hanya saja untuk yang satu ini saya masih belum biarkan mereka banyak membantu, terutama yang berkaitan dengan pisau (potong memotong) dan yang deket-deket kompor. Nantilah, akan ada saatnya...
Mungkin saya jadi umi yang pemalas atau suka menyuruh? Semoga tidak. Kepada asisten saya pun saya suruh untuk menyuruh anak-anak membereskan sendiri mainannya hingga bersih, kami hanya membantu. Keterampilan hidup, salah satu bekal yang saya siapkan untuk mereka, hingga ketika nanti tiba saatnya mereka tidak lagi berada dalam pandangan mata saya, akan mampu menjaga diri mereka sendiri dimanapun mereka berada.
Masih banyak bekal yang harus saya siapkan. Mungkin akhlaq adalah yang terberat. Semoga saya bisa menjadikan bidadari-bidadari saya berakhlaq alqur’an, berani menghadapi tantangan hidup, bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, menjadi anak-istri-ibu shalihat, dan sukses dunia akhirat.
Aaamiiiiiinnn….
Jadikanlah kami orang tua yang shalih ya Allah agar kami dapat mendidik anak-anak kami menjadi anak-anak yang shalihat, penegak agamaMu…
Pertengahan 2011
Happy April

Saya dan suami menikah 21 April, bersamaan dengan maulid nabi (jadi versi hijriyahnya 12 rabiul awwal).
Si kembar lahir, tepat setahun pernikahan kami, tanggal 30 April (setahun nikah anak dua... hehe...)
Si dede lahir juga tepat 2 tahun setelah kaka-kakanya lahir, tanggal 11 April...
Papa saya juga lahirnya 2 April, diikuti adik bungsu saya di tanggal 9 april. Mama-papa juga nikahnya bulan april (saya lupa pasnya kapan...)
Jadi, tiap april, kami sibuk nyari hadiah untuk milad ketiga anak kami, yang biasanya dirayakan di hari lahir si kembar, 30 April.
April tahun ini menjadi istimewa, karena oma-datuknya anak-anak (mama-papa saya) juga lagi liburan di sini. Jadi kami semua ngumpul di rumah dan merayakan semua yang lahir di bulan April ini dengan blackforest yang yummmmy... ;P
Happy April !!! ^_^
(ditulis April 2011)
Ulat

Biasanya ketika menemukan hal yang tidak diinginkan, misalnya ulat dalam sayur, kita langsung melihat sayur menjadi jelek. Ulat memang bukan yang kita harapkan ada di sayur yang akan kita olah. Tapi setidaknya kita kemudian jadi tahu, bahwa sayur ini memiliki kadar racun pestisida yang kecil bahkan mungkin tidak ada (setidaknya masih dapat ditolerir oleh si ulat). Kalo ga ada ulat, bisa jadi pestisidanya udah kebanyakan sampe ulat pun ga bisa nemplok di sayurnya.
Juga ketika misalnya anak kita deket banget sama pembantu. Kebanyakan ibu bekerja, yang otomatis punya waktu yang terbatas, sering merasa sangat cemburu kepada pembantu yang memang sehari-hari bersama anak-anak. Menjadi yang pertama kali datang ketika ia menangis, mengurusi semua kebutuhannya, dsb. Pastilah tidak ada ibu yang suka dengan keadaan ini.
Tapi jika kita lihat lebih jauh, seharusnya kita bersyukur punya pembantu seperti itu. Pembantu yang sungguh-sungguh menyayangi anak-anak kita seperti anak/adiknya sendiri. Pembantu yang dapat kita amanahkan kepadanya anak-anak kita, yang dapat kita titipkan tanpa rasa waswas. Seharusnya kita menjaga hubungan baik dengannya, bukannya malah kemudian sering memarahinya karena rasa cemburu itu. Tinggal si ibu yang harus memperbaiki hubungan dengan anaknya sendiri. Meski tidak dapat menggantikan kuantitas kebersamaan, setidaknya anak merasakan kehadiran kita kapanpun, meski kita tidak bersamanya. Misalnya dengan menelponnya ketika di kantor, membacakan dongeng ketika akan tidur, dll...
Kadang kita salah memandang suatu masalah. Mungkin karena ketidakpahaman kita, ilmu yang kurang, atau karena assimetric information, memandang dari 'kacamata' yang sempit. Belajarlah dari pengalaman, jangan malas mencari ilmu, dan dewasalah.
Wallahu a'lam...
Apresiasi

Saya kagum dengan bagaimana orang jepang mengapresiasi kemampuan apapun, bahkan mungkin yang paling ngga penting menurut orang banyak sekalipun (misalnya menyusun 2000-an dadu kecil ukuran 5x5x5mm menjadi piramida yang tinggi).
Saya juga pernah mengagumi bagaimana orang barat/amerika mengapresiasi sesuatu. Ketika menonton Oprah misalnya. Begitu besarnya apresiasi terhadap hal-hal yang menurut kita -mungkin- kecil. Tepuk tangan, 'wow', 'amazing', bahkan standing aplause sering diberikan untuk hal-hal yang kecil itu. Di supermarket merek 'luar' (jika kita memperhatikan) akan kita lihat pengumuman "Best .... of the month" dengan foto seorang pegawai terpampang besar.
Ucapan 'terimakasih' misalnya. Orang indonesia jarang sekali melakukan hal ini. Setelah mengisi bensin, di supermarket, di bank, siapa yang berterimakasih? Pasti pelayannya, mungkin karena mereka dipaksa untuk demikian atas nama pelayanan prima. Tapi pernahkan si custumer berterimakasih kepada 'pelayan-pelayan' itu? Sepertinya masih jarang.
Jarang juga ditemui penghargaan-penghargaan atas apa yang telah dilakukan dengan baik. Jika seseorang berlaku baik, maka memang sudah seharusnya ia begitu. Tapi ketika ia melakukan kesalahan, jangan harap akan ada toleransi.
Di kantor misalnya. Kalo telat/ga masuk, potong gaji. Melanggar peraturan/kode etik, PP 30. Apalagi kalo ada yang sampe komplain terhadap apa yang kita sudah kerjakan, hmmm... tinggal tunggu ditegur atasan.
Pernahkah menerima penghargaan ketika tak pernah terlambat? Ketika bekerja profesional? ketika berhasil memuaskan wajib pajak atas pelayanan kita?
Mungkin jarang (kalo tidak boleh disebut tidak pernah). Karena itu memang tugas kita, dan untuk itu kita digaji.
Ketika anak nurut, patuh, bersikap baik, kita jarang mengapresiasi keberhasilannya. Tapi ketika dia rewel, tak patuh, maka kita langsung meradang, mengucapkan kata-kata yang mengkerdilkan ia, hukuman pun jatuh. Tak pernah ingat bagaimana ia merapikan mainannya sendiri, ketika ia menurut ketika disuruh bobo siang, ketika ia menghabiskan makanannya, dll...
Otak kita begitu cepat menangkap kesalahan, tidak secepat kita menangkap kebaikan.
Mengapresiasi memang belom biasa kita lakukan. Maka asahlah kepekaan terhadap hal-hal yang baik. Tidak ada lagi 'karena nila setitik rusak susu sebelanga'.
Mari kita hargai, apresiasi kerja-kerja orang lain, meski itu kecil. Belajar untuk terus mengingat kebaikan-kebaikannya ketika ia bersalah.
Wallahu a'lam.
Ketika Hati Tergoda

Saya hampir lupa dengan cerita itu...
Hingga beberapa saat yang lalu, ada kisah yang hampir sama. Seorang ikhwan yang saya kenal bertemu kembali dengan akhwat yang dulu pernah ada dalam hatinya, dan ini mengganggunya. Padahal ia sudah punya 2 orang anak, si akhwat pun sudah menikah dengan ikhwan lain.
Entahlah... Sesungguhnya ini membuat saya sedih. Tapi itulah perasaan. Entahlah...
Makanya saya selalu mensugesti diri sendiri untuk tidak memelihara 'rasa' yang hadir ketika saya tidak tahu apakah dia memang untuk saya atau bukan. Hati saya benar-benar harus 'kosong' hingga seorang yang ditakdirkanNya mengisinya hingga penuh.
Ya, benar-benar penuh. Tidak ada lagi ruang, bahkan untuk masa lalu, karena sejatinya ia tak pernah ada...
Maka berhati-hatilah terhadap rasa yang muncul meski ia masih 'kecil'. Ketika ia kecillah harus dicabut hingga akarnya agar tak tumbuh mengilalang. Jika ia terlanjur besar, butuh usaha sangat besar untuk menghilangkannya. Karena ia memang harus hilang. Karena ia terlarang...
Persembahkan hatimu yang masih bersih, hingga keberkahan menyertai...
"Dan tundukkanlah sebagian daripada pandanganmu..."
Bahagianya Mahasiswa
Jadi ceritanya gini...
Presentasi pertama, mata kuliah Seminar Pasar Modal, tentang Business Valuation.
Begitu selesai, pak dosen bilang bahwa presentasinya bagus, lebih bagus daripada presentasi kelas sebelah (dengan tema yang sama). Disambut tepuk tangan temen-temen sekelas, hati saya mengembang. Alhamdulillah, senangnya diapresiasi oleh yang ahli. Si bapak sampe ga perlu menayangkan slidenya, karena hampir sama dengan yang sudah kami sajikan.
Sebenernya kali pertama ini tidak terlalu bahagia, karena saya merasa ga terlalu berusaha keras untuk presentasi ini. Temen sekelompok yang nyari dan saya tinggal tambah sana-sini, sehingga ketika menyajikan bisa/mudah dipahami. Ditambah dengan sedikit bahan dari ebook berbahasa inggris, presentasi pun jadi. Tapi secara keseluruhan, 2 rekan lainlah yang lebih berperan dalam presentasi pertama.
Presentasi kedua semester ini, barusan, mata kuliah Seminar Keuangan Publik, dengan judul "A Comtemporary Approach to Public Expenditure Management". Nah yang ini agak lucu.
Begitu dapat bahan (paper 143 halaman in english) kami (saya dan 2 orang rekan) langsung bagi tugas. Saya dapet chapter 1-2, temen yang satu dapet chapter 3, terakhir chapter 4-5. Tugas ini sebenernya udah ada dari sebulan yang lalu. Tapi ya karena emang sukanya kepepet, jadilah ketika kelompok sebelum kami selesai presentasi, saya pun dilanda kepanikan. Belum satu katapun dibaca apalagi diterjemahkan, apalagi di-resume dan dibikin slide-nya.
Satu orang dapet lebih kurang 50 halaman yang harus diterjemahkan. Dan dari 2 chapter yang diamanahkan kepada saya, dua hari menjelang presentasi, baru 1 chapter yang selesai dibaca dan langsung di resume. Akhirnya chapter terakhir diselesaikan dalam 1 hari lengkap dengan slide-nya.
Hari presentasipun tiba. Meski ga begitu paham dengan apa yang akan disajikan (bahasanya ekonomi makro dengan tata bahasa dan vocabulary yang 'berat'), dengan pede berdiri di depan kelas menjelaskan apa yang dipahami.
Saking banyaknya slide (total 47 slide + beberapa tabel), presentasi baru selesai setelah 1 jam lebih presentasi. Tetap teguh meski beberapa temen telah sukses tidur (karena bahasannya emang ngebosenin).
Selesai presentasi, si bapak dosen bilang,"Sebenernya yang diminta presentasi hanya bab 1 dan 2 saja. Tapi ini malah disajikan semuanya. Ya gapapa, malah bagus lah. Two thumbs up!" diiringi tepuk tangan dan tawa seantero kelas.
Dengernya saya jadi ngenes, sekaligus seneng. Kenapa ga sadar ya kalo cuma 2 bab. Malah menyusahkan diri sendiri. Tapi tertutupi dengan 'two thumbs up' nya pak dosen yang ga bisa digambarkan dengan apapun (halah).
Ya, beginilah bahagianya mahasiswa. Ketika hasil kerjanya dihargai dengan pujian.
Mudah-mudahan IPKnya nanti juga bagus dan bisa lulus dengan cumlaude.... aaaaaaaaaaaamiiiiiiiiinnnnnnn........
(jadi inget, harus semakin sering memuji anak-anak sendiri, anak-anak 'dawah', dan orang-orang yang memang pantas dipuji ^_^)
Thursday, September 6, 2012
Ta'aruf
Adalah hal yang wajar ketika ingin menikah, seorang ikhwan/akhwat ingin mengenal calon pasangannya, baik fisik maupun sifatnya.
Mencari infomasi kemudian dilakukan agar memiliki gambaran yang cukup untuk kemudian menerima atau menolak calon.
Namun demikian tentu ada adab dalam mencari informasi.
Imam Al Ghazali menyatakan dalam kitab Al-Ihya',
"Tidak boleh mencari keterangan tentang akhlaq dan kecantikan wanita yang hendak dipinang kecuali dari orang yang bijak dan jujur;
berpengetahuan luas tentang masalah fisik dan mental;
tidak berat sebelah kepada wanita sehingga akan menyanjungnya berlebihan;
tetapi tidak pule dengki kepadanya sehingga akan menjatuhkannya.
Emosi cenderung tidak objektif berkaitan dengan masalah-masalah menjelang pernikahan dan memberi keterangan tentang wanita yang akan dipinang, baik berupa memuji berlebihan atau menjatuhkan.
Jarang sekali orang yang jujur dan objektif dalam masalah ini, melainkan banyak penipuan dan subjektif.
Unsur hati-hati dalam masalah ini sangat penting bagi setiap orang yang khawatir dirinya akan terjerumus pada praktik mengidamkan sifat-sifat yang tidak dimiliki istrinya kelak"
Demikian versi Fiqh Sunnah-nya Sayyid Sabiq dalam bab Pernikahan.
Setiap orang punya kelemahan dan kelebihan masing-masing. Tak akan habis membaca testimoni dari semua orang, karena setiap orang punya pengalaman bersama yang bersangkutan sesuai apa yang dialaminya. Bisa pengalaman yang menyenangkan, tentu juga bisa yang tidak menyenangkan.
Maka sebaiknya mencari informasi dikhususkan kepada yang benar-benar kenal/mengetahui yang bersangkutan secara langsung, dalam waktu yang cukup lama, sehingga ketika memberi informasi dapat dipercaya. Misalnya ibunya, saudaranya, sahabat dekat, dll. Jangan kepada semua orang, nanti jadi bingung sendiri, sebab setiap orang pastilah subjektif.
Menurut saya, ketika mencari informasi, kita harus benar-benar paham apa yang ingin kita ketahui dari calon pasangan. Apa saja hal-hal prinsip (kalo bahasa akuntansinya: material) yang kira-kira dapat mengubah keputusan kita, entah kemudian menerima atau menolak.
Hal-hal prinsip bisa berupa, misalnya pemahaman keislaman, penyakit, riwayat penyakit dalam keluarga, masalah kesuburan, penghasilan, akan tinggal dimana nanti, dan lain sebagainya. Hal yang prinsip berbeda menurut setiap orang. Bisa jadi masalah bersih-tidak bersih menjadi prinsip, hingga ketika si akhwat kurang 'rapi' hal ini menjadi bahan pertimbangan. Bisa jadi suku menjadi hal prinsip, karena orang tua meminta harus dengan pasangan dengan suku tertentu.
Carilah informasi berdasarkan prioritas. Untuk kenal lebih jauh lagi (apakah soal ternyata pasangan suka ngorok, tidak suka kopi, jarang sarapan, suka makan soto, susah tidur, dan hal-hal lain yang kurang penting) bisa dilakukan setelah berumahtangga, tinggal dalam satu atap.
Tidak ada manusia yang sempurna, sebagaimana juga kita (ya bukan?). Maka dalam berumahtangga yang terpenting adalah bagaimana kemudian kita dapat menerima pasangan apa adanya. Seiring waktu akan ada penyesuaian-penyesuaian. Sepanjang sepasang manusia memiliki visi-misi hidup yang sama, tujuan dan cara pandang yang kurang-lebih sama, maka insyaAllah hal lain bisa dikompromikan.
Wallahu a'lam...
Mencari infomasi kemudian dilakukan agar memiliki gambaran yang cukup untuk kemudian menerima atau menolak calon.
Namun demikian tentu ada adab dalam mencari informasi.
Imam Al Ghazali menyatakan dalam kitab Al-Ihya',
"Tidak boleh mencari keterangan tentang akhlaq dan kecantikan wanita yang hendak dipinang kecuali dari orang yang bijak dan jujur;
berpengetahuan luas tentang masalah fisik dan mental;
tidak berat sebelah kepada wanita sehingga akan menyanjungnya berlebihan;
tetapi tidak pule dengki kepadanya sehingga akan menjatuhkannya.
Emosi cenderung tidak objektif berkaitan dengan masalah-masalah menjelang pernikahan dan memberi keterangan tentang wanita yang akan dipinang, baik berupa memuji berlebihan atau menjatuhkan.
Jarang sekali orang yang jujur dan objektif dalam masalah ini, melainkan banyak penipuan dan subjektif.
Unsur hati-hati dalam masalah ini sangat penting bagi setiap orang yang khawatir dirinya akan terjerumus pada praktik mengidamkan sifat-sifat yang tidak dimiliki istrinya kelak"
Demikian versi Fiqh Sunnah-nya Sayyid Sabiq dalam bab Pernikahan.
Setiap orang punya kelemahan dan kelebihan masing-masing. Tak akan habis membaca testimoni dari semua orang, karena setiap orang punya pengalaman bersama yang bersangkutan sesuai apa yang dialaminya. Bisa pengalaman yang menyenangkan, tentu juga bisa yang tidak menyenangkan.
Maka sebaiknya mencari informasi dikhususkan kepada yang benar-benar kenal/mengetahui yang bersangkutan secara langsung, dalam waktu yang cukup lama, sehingga ketika memberi informasi dapat dipercaya. Misalnya ibunya, saudaranya, sahabat dekat, dll. Jangan kepada semua orang, nanti jadi bingung sendiri, sebab setiap orang pastilah subjektif.
Menurut saya, ketika mencari informasi, kita harus benar-benar paham apa yang ingin kita ketahui dari calon pasangan. Apa saja hal-hal prinsip (kalo bahasa akuntansinya: material) yang kira-kira dapat mengubah keputusan kita, entah kemudian menerima atau menolak.
Hal-hal prinsip bisa berupa, misalnya pemahaman keislaman, penyakit, riwayat penyakit dalam keluarga, masalah kesuburan, penghasilan, akan tinggal dimana nanti, dan lain sebagainya. Hal yang prinsip berbeda menurut setiap orang. Bisa jadi masalah bersih-tidak bersih menjadi prinsip, hingga ketika si akhwat kurang 'rapi' hal ini menjadi bahan pertimbangan. Bisa jadi suku menjadi hal prinsip, karena orang tua meminta harus dengan pasangan dengan suku tertentu.
Carilah informasi berdasarkan prioritas. Untuk kenal lebih jauh lagi (apakah soal ternyata pasangan suka ngorok, tidak suka kopi, jarang sarapan, suka makan soto, susah tidur, dan hal-hal lain yang kurang penting) bisa dilakukan setelah berumahtangga, tinggal dalam satu atap.
Tidak ada manusia yang sempurna, sebagaimana juga kita (ya bukan?). Maka dalam berumahtangga yang terpenting adalah bagaimana kemudian kita dapat menerima pasangan apa adanya. Seiring waktu akan ada penyesuaian-penyesuaian. Sepanjang sepasang manusia memiliki visi-misi hidup yang sama, tujuan dan cara pandang yang kurang-lebih sama, maka insyaAllah hal lain bisa dikompromikan.
Wallahu a'lam...
Bekal
Menyiapkan
bekal si kembar membuat tantangan tersendiri. Sekarang tidak hanya
dipusingkan (ga segitu pusingnya siiih ^_^) dengan menu makanan di meja
makan, tapi juga harus kreatif menyiapkan bekal yang enak (dimakan dan
dilihat) dan bergizi supaya ga kelaperan di sekolah. Hmm... sebenarnya
pasti ga bakalan kelaperan kalo pun ga disiapin bekal, mungkin akan
dibagi oleh temen-temen kecilnya... (kadang pulang-pulang bawa biskuit
ato cokelat, katanya dikasih Nadya, ato Bintang, ato temennya yang
lain... meski udah punya bekal sendiri. Ceritanya tukeran bekal kali...
hehe)
Sejatinya, menurut saya, tugas seorang ibu adalah menyiapkan bekal yang cukup. Cukup hingga anak-anak siap menghadapi dunianya. Dunia bermain, dunia sekolah, dunia pertemanan, dunia kuliah, dunia kerja, hingga kelak dunia keluarga yang mereka bangun sendiri, ketika tanggung jawab ibu diserahkan sepenuhnya kepada suami mereka kelak.
Ya, hari itu akan tiba. Ketika anak-anak tidak lagi berada dalam jangkauan pandangan mata. Mampukah mereka menghadapi 'kerasnya' dunia? Akankah mereka kelak berhasil menjalani setiap episode kehidupan dengan sukses? Menjadi anak yang sukses, istri yang sukses, ibu yang sukses, pekerja yang sukses, dan anggota masyarakat yang sukses?
Termasuk juga 'anak-anak' dalam da'wah. Tugas saya adalah menyiapkan mereka agar mampu menjalani kehidupan selanjutnya ketika saya tak lagi bisa -secara langsung- mendampingi mereka. Memberikan bekal yang cukup sehingga mereka mampu menghadapi tantangan da'wah profesi (birokrasi), da'wah sya'biah, dan da'wah keluarga (menikah). Dunia yang pasti harus dijalani ketika keluar dari zona nyamannya, kehidupan kampus yang kondusif, menuju 'the real world', dunia yang sebenarnya.
Selalu ada kekhawatiran jika bekal yang sudah saya siapkan ternyata belum cukup, sehingga mereka terseok dan terpaksa berjuang lebih keras, melakukan kesalahan-kesalahan yang tak perlu seandainya saya menyiapkan bekal yang cukup...
Ah... Kepada Allah SWT aku menitipkan kalian, anak-anakku...
Dia yang Maha Menjaga, tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa...
Ya Allah beri aku kekuatan dalam menyiapkan bekal mereka, sehingga mereka berhasil menjalani kehidupan dengan selamat. Jagalah mereka ya Allah...
Sejatinya, menurut saya, tugas seorang ibu adalah menyiapkan bekal yang cukup. Cukup hingga anak-anak siap menghadapi dunianya. Dunia bermain, dunia sekolah, dunia pertemanan, dunia kuliah, dunia kerja, hingga kelak dunia keluarga yang mereka bangun sendiri, ketika tanggung jawab ibu diserahkan sepenuhnya kepada suami mereka kelak.
Ya, hari itu akan tiba. Ketika anak-anak tidak lagi berada dalam jangkauan pandangan mata. Mampukah mereka menghadapi 'kerasnya' dunia? Akankah mereka kelak berhasil menjalani setiap episode kehidupan dengan sukses? Menjadi anak yang sukses, istri yang sukses, ibu yang sukses, pekerja yang sukses, dan anggota masyarakat yang sukses?
Termasuk juga 'anak-anak' dalam da'wah. Tugas saya adalah menyiapkan mereka agar mampu menjalani kehidupan selanjutnya ketika saya tak lagi bisa -secara langsung- mendampingi mereka. Memberikan bekal yang cukup sehingga mereka mampu menghadapi tantangan da'wah profesi (birokrasi), da'wah sya'biah, dan da'wah keluarga (menikah). Dunia yang pasti harus dijalani ketika keluar dari zona nyamannya, kehidupan kampus yang kondusif, menuju 'the real world', dunia yang sebenarnya.
Selalu ada kekhawatiran jika bekal yang sudah saya siapkan ternyata belum cukup, sehingga mereka terseok dan terpaksa berjuang lebih keras, melakukan kesalahan-kesalahan yang tak perlu seandainya saya menyiapkan bekal yang cukup...
Ah... Kepada Allah SWT aku menitipkan kalian, anak-anakku...
Dia yang Maha Menjaga, tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa...
Ya Allah beri aku kekuatan dalam menyiapkan bekal mereka, sehingga mereka berhasil menjalani kehidupan dengan selamat. Jagalah mereka ya Allah...
Aku Rindu Zaman

Aku rindu zaman
ketika “halaqoh” adalah kebutuhan,
bukan sekedar sambilan apalagi hiburan
Aku rindu zaman
ketika “membina” adalah kewajiban,
bukan pilihan apalagi beban dan paksaan
Aku rindu zaman
ketika “dauroh” menjadi kebiasaan,
bukan sekedar pelengkap pengisi program yang dipaksakan
Aku rindu zaman
ketika “tsiqoh” menjadi kekuatan,
bukan keraguan apalagi kecurigaan
Aku rindu zaman
ketika “tarbiyah” adalah pengorbanan,
bukan tuntutan dan hujatan
Aku rindu zaman
ketika “nasihat” menjadi kesenangan,
bukan su'udzon atau menjatuhkan
Aku rindu zaman
ketika kita semua memberikan segalanya untuk da'wah ini
Aku rindu zaman
ketika “nasyid ghuroba” menjadi lagu kebangsaan
Aku rindu zaman
ketika hadir di “liqo” adalah kerinduan,
dan terlambat adalah kelalaian
Aku rindu zaman
ketika malam gerimis pergi ke puncak mengisi dauroh
dengan ongkos ngepas dan peta tak jelas
Aku rindu zaman
ketika seorang ikhwah benar-benar jalan kaki 2 jam di malam buta
sepulang tabligh dawah di desa sebelah
Aku rindu zaman
ketika akan pergi liqo selalu membawa uang infak, alat tulis, buku catatan dan Qur'an terjemahan ditambah sedikit hafalan
Aku rindu zaman
ketika seorang binaan menangis karena tak bisa hadir di liqo
Aku rindu zaman
ketika tengah malam pintu depan diketok untuk mendapat berita kumpul subuh harinya
Aku rindu zaman
ketika seorang ikhwah berangkat liqo dengan ongkos jatah belanja esok hari untuk keluarganya
Aku rindu zaman
ketika seorang murobbi sakit dan harus dirawat, para binaan patungan mengumpulkan dana apa adanya
Aku rindu zaman itu,
Aku rindu...
Ya ALLAH,
Jangan Kau buang kenikmatan berda'wah dari hati-hati kami
Jangan Kau jadikan hidup ini hanya berjalan di tempat yang sama
[Rahmat Abdullah]
dan saya menangis untuk ke sekian kalinya setiap membaca lagi puisi ini
pun ketika posting ini
semoga diakhirat kelak kita bisa bertemu dengan beliau
aku mencintaimu karena Allah, ya ustadz...
Ikhlas

Betapa berat sebenarnya membahas materi ini. Alhamdulillah, semoga Allah tak henti memberikan taufikNya kepada DR Yusuf Al Qardhawy yang telah menulis buku sarat ilmu, Niat dan Ikhlas. Membaca buku ini memberikan gambaran yang sangat jelas dan terang mengenai apa itu ikhlas. Setiap kalimat dalam setiap halamannya adalah inti pokok dari pembahasannya. Setiap kata-katanya adalah hikmah. Hanya dengan membaca dan memahami setiap katanya baru kita bisa betul-betul memahami apa itu ikhlas. Buku ini sudah saya baca berulang kali, namun selalu setiap membaca selalu kemudian termenung, menghela nafas, berpikir, dan merasakan sedemikian beratnya materi ini.
'Ala kulli hal, dari semua hal, maka yang paaaaling sulit untuk dilakukan adalah mengamalkannya. Betapa sulitnya untuk menjadi ikhlas. Betapa sulitnya memurnikan niat dari hal-hal yang selain Allah SWT. Benar-benar sulit... (semoga saya tidak termasuk yang mendapat 'kaburo maqtan' ketika saya memberikan materi ikhlas sementara saya sendiri belum ikhlas...)
Ikhlas. Semakin paham, semakin sulit untuk melakukannya...
Terutama ketika harus berada di barisan depan. Meski tidak diminta, namun hal-hal duniawi begitu lekat mengganggu kemurnian niat. Ada saja niat untuk ingin di kenang, ingin diingat sebagai qiyadah yang baik, untuk meninggalkan hal-hal yang baik, ingin diingat manusia sebagai orang yang sukses membawa organisasi menuju kemajuan.
Yang sering menghinggapi, adalah keinginan 'meninggalkan sesuatu agar diingat'. (Ah, padahal pandangan manusia tidak ada artinya dibanding pandangan Allah. Cukuplah Allah ridha, tak perlu yang lain...). Ketika dulu masih D3, ketika akan meninggalkan gorontalo, juga sekarang saat kembali ke kampus. Ketenaran menjadi racun. Ingin rasanya menjadi yang di 'belakang layar' saja. Tak pernah disebut namanya, tak dianggap, tidak dicari, berkarya dari kejauhan saja.
Ya, Allah telah menakdirkan, maka tinggal kita berusaha untuk ridha atas semua ketentuannya, sembari senantiasa membersihkan hati dari ketidakmurnian keikhlasan, agar diakhir kelak kita mendapatkan keridhaanNya...
Hhhhh....
Ya Allah yang menguasai hati-hati kami, jadikanlah kami termasuk kedalam hamba-hambaMu yang mukhlis...
Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepadaMu untuk (tidak) menyekutukan sesuatu yang kami ketahui denganMu dan kami memohon kepadaMu dari sesuatu yang tidak kami ketahui...
Maka Lepaskanlah
Alkisah,
adalah seekor kera yang begitu tergiur melihat setoples kacang. Dengan
asumsi si toples dalam keadaan terbuka, si kera pun segera memasukkan
tangannya ke dalam toples yang pas sekali seukuran tangannya.
Dia pun mengambil satu biji untuk mencoba. Wah, ternyata enak sekali! Dia pun dengan semangat memasukkan kembali tangannya untuk mengambil sebanyak-banyaknya kacang dalam genggamannya.
Namun apa yang terjadi? Tangannya tidak bisa dikeluarkan! Genggamannya terlalu besar untuk bisa melewati mulut toples. Dan satu-satunya cara untuk bisa keluar adalah... dengan melepaskan genggamannya, melepaskan kacang-kacang menggiurkan, atau dia tidak akan dapat mengeluarkan tangannya apalagi menikmati kacangnya.
Ya, ini hanya cerita berhikmah. Mohon maaf jika redaksinya tidak begitu menarik :) Semoga hikmahnya bisa diambil.
Kadang untuk bisa melewati kesulitan, kita harus melepaskannya. Maka lepaskanlah, agar bisa lega.
Belakangan saya sedang merasa terkungkung oleh sesuatu. Punya keinginan yang besar, tapi saya harus bekerja sama dengan orang lain untuk mewujudkannya, tidak bisa sendiri. Dan ternyata menggambarkan visi kepada oranglain tidaklah mudah. Ketika saya begitu bersemangat ingin begini begitu, ternyata oranglain tidak, kemudian saya menjadi kecewa.
Maka saya harus melepaskannya. Membiarkan orang lain bekerja sebagaimana mereka mau. Saya sudah melakukan yang harus saya lakukan. Then let them do their best. Nanti tinggal mengapresiasi dan menghargai apapun hasilnya...
Mungkin saya yang terlalu 'ikut campur'... hehehe...
Saatnya untuk melepaskan ^_^
(sebenernya cerita di atas sering dipake untuk tema 'memaafkan', tapi gapapa lah, masih nyambung kayaknya)
Dia pun mengambil satu biji untuk mencoba. Wah, ternyata enak sekali! Dia pun dengan semangat memasukkan kembali tangannya untuk mengambil sebanyak-banyaknya kacang dalam genggamannya.
Namun apa yang terjadi? Tangannya tidak bisa dikeluarkan! Genggamannya terlalu besar untuk bisa melewati mulut toples. Dan satu-satunya cara untuk bisa keluar adalah... dengan melepaskan genggamannya, melepaskan kacang-kacang menggiurkan, atau dia tidak akan dapat mengeluarkan tangannya apalagi menikmati kacangnya.
Ya, ini hanya cerita berhikmah. Mohon maaf jika redaksinya tidak begitu menarik :) Semoga hikmahnya bisa diambil.
Kadang untuk bisa melewati kesulitan, kita harus melepaskannya. Maka lepaskanlah, agar bisa lega.
Belakangan saya sedang merasa terkungkung oleh sesuatu. Punya keinginan yang besar, tapi saya harus bekerja sama dengan orang lain untuk mewujudkannya, tidak bisa sendiri. Dan ternyata menggambarkan visi kepada oranglain tidaklah mudah. Ketika saya begitu bersemangat ingin begini begitu, ternyata oranglain tidak, kemudian saya menjadi kecewa.
Maka saya harus melepaskannya. Membiarkan orang lain bekerja sebagaimana mereka mau. Saya sudah melakukan yang harus saya lakukan. Then let them do their best. Nanti tinggal mengapresiasi dan menghargai apapun hasilnya...
Mungkin saya yang terlalu 'ikut campur'... hehehe...
Saatnya untuk melepaskan ^_^
(sebenernya cerita di atas sering dipake untuk tema 'memaafkan', tapi gapapa lah, masih nyambung kayaknya)
Subscribe to:
Posts (Atom)