Monday, May 26, 2014

A step ahead to reach the dream

Momentum itu dimulai ketika jatuh tempo 2 tahun saya hampir terlewati. Dua tahun adalah waktu yang harus saya lalui sebelum diperkenankan untuk melanjutkan pendidikan. Demikian memang yang dipersyaratkan oleh institusi saya, sebuah institusi pemerintah. Dua tahun sejak penempatan defenitif, itulah syaratnya,

Dan bulan Februari lalu jangka waktu itu telah lewat. Saya mulai mencari program beasiswa mana yang mau diikuti. Begitu juga dengan teman-teman seangkatan D IV lain, kami saling berbagi informasi.

Masalah mau lanjut S2 ini juga sudah pernah saya bicarakan dengan suami. Bahkan dia sangat mendukung. Dan ketika kesempatan itu tiba, saya pun segera memulai pertarungan.
Sebenarnya ada 2 program yang ditawarkan, satu dibiayai pemerintah Australia, satunya lagi dari World Bank. Penawaran dari Australia mensyaratkan sertifikat TOEFL-ITP dengan skor minimal 500. Apa mau dikata, sudah mencari kemana-mana lembaga yang bisa memberikan sertifikat dalam waktu yang ditentukan tapi tidak ada. Malangnya saya, soalnya dari tengah tahun kemarin sebenernya si abi sudah menyarankan saya untuk segera ikut tes TOEFL-ITP, tapi saya abai.

But then, masih ada peluang kedua. Tawaran yang ini tidak mensyaratkan nilai TOEFL karena dia menyelenggarakan sendiri tes TOEFL-nya. Akhirnya saya mencoba peruntungan untuk bertarung dalam laga ini.

Berkas sudah dimasukkan dan alhamdulillah nama saya ada dalam daftar peserta tes tertulis. Tes ini terdiri dari 3 jenis tes yang diselenggarakan selama 2 hari. Hari pertama, Tes Potensi Akademik (TPA) dan TOEFL, dilanjutnya psikotes di hari kedua.

Semenjak pengumuman pemanggilan peserta tes tertulis, saya langsung searching soal-soal TPA, Toefl, dan psikotes. Mau valid atau engga, yang penting latihan. Ya, untuk ngencerin lagi otak yang udah lama ngga diajak mantengin soal-soal matematika. Sabtu sebelum hari-H, saya ditemani suami ikut kursus TPA seharian di daerah Lebak Bulus. Yang ngajar dari Bappenas (atau mantan pegawai Bappenas?), seharian belajar TPA sangat membantu saya menyegarkan ingatan. Ia memberikan tips-tips, tak hanya cara mengerjakan soal-soal logika matematika yang diujikan, tapi juga tips psikotes bahkan wawancara. Ada prediksi skor juga, dan inilah yang kemudian menaikkan pede saya karena skor saya adalah yang tertinggi dari 75 peserta kursus pada hari itu.

Hari tes-pun akhirnya tiba. Sudah sampai di tempat tes sebelum jam 7, saya masih sempat istirahat sejenak dan sarapan pagi. Agak kurang fit sebenarnya karena 2 malam sebelumnya si dede Sofi sering bangun malam karena kurang enak badan. Dua malam kurang tidur, saya pasrah saja dengan ujian kali ini, padahal menurut saran dari teman-teman, kondisi badan harus fit banget ketika tes, supaya bisa konsen dan cepat mengerjakan soal. 
Selesai tes TPA di pagi hari, saya langsung curhat via grup WA bahwa soalnya susah banget. Hampir separuh soal matematika saya lewatkan karena kurangnya waktu. Saya pikir saya salah strategi (padahal pak dosen yang ngajarin TPA sudah memberi tahu bahwa soal-soal awal memang disetting sulit dikerjakan dan membutuhkan waktu lama), harusnya saya mengerjakan soal yang saya suka dulu (misalnya deret) baru yang lain. 10 soal pertama saya kerjakan hampir setengah jam, padahal masih ada 80 soal lagi yang harus dikerjakan setengah jam berikutnya. Saya pasrah. Tapi saya tetap berusaha mengerjakan soal Toefl (yang mana audionya ketika itu juga very very bad... Couldn't hear any word) dan psikotes dengan sebaik-baiknya.

Not so sure, but nothing imposible. Keep positive thinking. 

No comments:

Post a Comment

Jazakumullah khairan katsira...
Makasih banyak ya, sudah meninggalkan jejak di blog ini.
Have a nice day ^^