Hampir
5 bulan saya mengikuti diklat persiapan ke luar negeri di kampus STAN.
Dua pekan lagi saya akan menyelesaikan diklat ini, and then I'm on my
own.
Banyak yang saya pikirkan, banyak yang telah terjadi, banyak juga yang telah berubah.
Selama
di asrama, jangan pikir saya selalu bersemangat. Ada kalanya, saya
merasa sedih, gundah, takut, dan gamang. Menerima beasiswa ini kayak
makan kaviar (mungkin), begitu masuk mulut -meski ga suka rasanya- harus
dimakan karena sayang harganya mahal banget. Saya ga punya pilihan
untuk mundur, sekalinya masuk, harus terima segala konsekuensinya.
Nginap
di asrama dan pulang 'hanya' dua kali seminggu itu berat buat saya.
Saya punya 4 anak perempuan dan salah satunya masih bayi. Masih setahun
umurnya tapi saya terpaksa menyapihnya. Saya juga harus merepotkan orang
tua saya, yang saya minta untuk tinggal bersama saya, yang kemudian
menjadi 'pengganti' saya di rumah. Setiap hari, bukan saya yang
membangunkan mereka, yang menyiapkan bekal mereka, bukan saya juga yang
nemenin mereka bikin pe-er, membacakan bed time stories, menuntun mereka
baca doa sebelum tidur, menidurkan si baby, atau pergi ke sekolah
ketika ada acara. Hal ini sering kali membuat saya sedih, terutama
ketika tahu mereka -suatu kali- sakit, dan saya tidak ada di sisi
mereka...
Ketika
sedih saya sering berpikir, apakah ini worthed? Apakah kuliah ke luar
negeri ini benar-benar keinginan saya demi mereka? Ataukah ini cuma
mimpi egois saya untuk bisa dikenal sebagai lulusan luar negeri, demi
karir, jabatan, uang, popularitas, ingin berbeda, ingin dikenal dan
diingat sebagai seorang yang sukses, dll? Sukses bagi siapa? Sukses
apa?
Pikiran-pikiran
ini sering membuat saya ingin menyerah. Anak sakit dan saya tidak bisa
pulang, yang ada di pikiran saya hanya ingin bersama mereka di rumah,
jadi ibu rumah tangga yang baik, yang penting saya selalu ada buat
mereka. Lepaskan saja semua ini, tak ada yang lebih penting bagi saya
kecuali anak-anak! Lebih baik saya di rumah saja, bisa masak untuk
mereka, nganter mereka sekolah, ada kapan saja untuk mereka...
...
(ketika sampai titik ini, komunikasi dengan suami, kadang juga beberapa teman, selalu membantu...)
Kemudian saya mencoba berpikir apa dibalik semua ini.
Allah
lah yang Maha Menentukan, dan kita hambaNya tidak lain hanya melakukan
semua kehendakNya. Allah yang menakdirkan nama saya ada di dalam daftar
penerima beasiswa ini, tentu Allah juga telah menggariskan juga jalan
dan cara menuju kesana. Allah juga yang telah memberikan segala
kemudahan. Mama dan papa sudah pensiun dan ga keberatan untuk tinggal di
rumah saya, dengan senang hati berdekatan dengan cucu-cucunya dan ngurusin anak-anak (dan semuanya).
Rumah yang dekat dari asrama, jadi bisa pulang dua kali seminggu (atau
kapan saja jika keadaan darurat, hanya butuh sekitar 60 menit naik
angkot). Beberapa teman ada yang dari semarang, makassar, surabaya, dll
yang hanya bisa pulang dua pekan bahkan dua bulan sekali dengan ongkos
sendiri. Ah, betapa beruntungnya saya...
Kuliah
di luar negeri juga berarti kesempatan bagi saya untuk bisa mengajak
anak-anak merasakan tinggal di negeri orang. Pengalaman yang tak
tergantikan dan -mungkin- sekali seumur hidup. Saya ga mungkin ngajak
mereka jalan-jalan ke luar negeri karena jika punya uang pun saya akan
gunakan untuk yang lain, dan kali ini bahkan gratis! Banyak hal yang
bisa diambil anak-anak ketika berinteraksi dengan orang asing dan hidup
di tempat asing. Bahasa -tentu saja- penting untuk menghadapi
globalisasi, keberanian menghadapi sesuatu yang baru, latihan
beradaptasi, kebiasaan (attitude) orang asing yang bermanfaat,
petualangan yang mungkin ga bisa didapat di Indonesia, dan banyak lagi.
Ga banyak orang diberi kesempatan seperti yang sedang saya alami
sekarang...
Saya
juga ingin anak-anak mencintai ilmu dan ini adalah salah satu
kesempatan saya untuk memberitahu dengan efektif bagaimana sejatinya
seorang yang mengejar cita-citanya. Saya ingin anak-anak semangat
belajar dan pada akhirnya kelak jika saatnya tiba, mereka tidak akan
ragu melanglang jauh mengejar ilmu dan mewujudkan cita-cita mulianya.
Kemudian
saya sampai pada kesimpulan bahwa ini adalah takdir saya. Allah
menakdirkan apa yang baik untuk saya menurutNya, dan saya harus percaya
bahwa ini memang baik untuk saya dan keluarga saya. Allah juga telah
membentangkan banyak sekali kemudahan untuk saya dan keluarga atas
ketentuanNya ini. Maka kenapa kemudian saya harus mundur dan menyerah?
Takdir
saya berada di jalan ini sekarang, dan ini yang terbaik. Takdir lain
bukan untuk saya, dan saya ga perlu mengkhawatirkan apa tidak terjadi
bagi saya. Saya hanya perlu menjalani peran ini dengan sebaik-baiknya
hingga Allah menunjukkan hikmahNya bagi saya dan orang-orang yang saya
sayangi...
Bintaro, 17 November 2014
Di tengah rinai hujan yang menginspirasi
No comments:
Post a Comment
Jazakumullah khairan katsira...
Makasih banyak ya, sudah meninggalkan jejak di blog ini.
Have a nice day ^^