Monday, November 17, 2014

Defining Moment

Hampir 5 bulan saya mengikuti diklat persiapan ke luar negeri di kampus STAN. Dua pekan lagi saya akan menyelesaikan diklat ini, and then I'm on my own.

Banyak yang saya pikirkan, banyak yang telah terjadi, banyak juga yang telah berubah. 
Selama di asrama, jangan pikir saya selalu bersemangat. Ada kalanya, saya merasa sedih, gundah, takut, dan gamang. Menerima beasiswa ini kayak makan kaviar (mungkin), begitu masuk mulut -meski ga suka rasanya- harus dimakan karena sayang harganya mahal banget. Saya ga punya pilihan untuk mundur, sekalinya masuk, harus terima segala konsekuensinya. 

Nginap di asrama dan pulang 'hanya' dua kali seminggu itu berat buat saya. Saya punya 4 anak perempuan dan salah satunya masih bayi. Masih setahun umurnya tapi saya terpaksa menyapihnya. Saya juga harus merepotkan orang tua saya, yang saya minta untuk tinggal bersama saya, yang kemudian menjadi 'pengganti' saya di rumah. Setiap hari, bukan saya yang membangunkan mereka, yang menyiapkan bekal mereka, bukan saya juga yang nemenin mereka bikin pe-er, membacakan bed time stories, menuntun mereka baca doa sebelum tidur, menidurkan si baby, atau pergi ke sekolah ketika ada acara. Hal ini sering kali membuat saya sedih, terutama ketika tahu mereka -suatu kali- sakit, dan saya tidak ada di sisi mereka...

Ketika sedih saya sering berpikir, apakah ini worthed? Apakah kuliah ke luar negeri ini benar-benar keinginan saya demi mereka? Ataukah ini cuma mimpi egois saya untuk bisa dikenal sebagai lulusan luar negeri, demi karir, jabatan, uang, popularitas, ingin berbeda, ingin dikenal dan diingat sebagai seorang yang sukses, dll? Sukses bagi siapa? Sukses apa? 

Pikiran-pikiran ini sering membuat saya ingin menyerah. Anak sakit dan saya tidak bisa pulang, yang ada di pikiran saya hanya ingin bersama mereka di rumah, jadi ibu rumah tangga yang baik, yang penting saya selalu ada buat mereka. Lepaskan saja semua ini, tak ada yang lebih penting bagi saya kecuali anak-anak! Lebih baik saya di rumah saja, bisa masak untuk mereka, nganter mereka sekolah, ada kapan saja untuk mereka... 

...

(ketika sampai titik ini, komunikasi dengan suami, kadang juga beberapa teman, selalu membantu...)

Kemudian saya mencoba berpikir apa dibalik semua ini. 

Allah lah yang Maha Menentukan, dan kita hambaNya tidak lain hanya melakukan semua kehendakNya. Allah yang menakdirkan nama saya ada di dalam daftar penerima beasiswa ini, tentu Allah juga telah menggariskan juga jalan dan cara menuju kesana. Allah juga yang telah memberikan segala kemudahan. Mama dan papa sudah pensiun dan ga keberatan untuk tinggal di rumah saya, dengan senang hati berdekatan dengan cucu-cucunya dan ngurusin anak-anak (dan semuanya). Rumah yang dekat dari asrama, jadi bisa pulang dua kali seminggu (atau kapan saja jika keadaan darurat, hanya butuh sekitar 60 menit naik angkot). Beberapa teman ada yang dari semarang, makassar, surabaya, dll yang hanya bisa pulang dua pekan bahkan dua bulan sekali dengan ongkos sendiri. Ah, betapa beruntungnya saya...

Kuliah di luar negeri juga berarti kesempatan bagi saya untuk bisa mengajak anak-anak merasakan tinggal di negeri orang. Pengalaman yang tak tergantikan dan -mungkin- sekali seumur hidup. Saya ga mungkin ngajak mereka jalan-jalan ke luar negeri karena jika punya uang pun saya akan gunakan untuk yang lain, dan kali ini bahkan gratis! Banyak hal yang bisa diambil anak-anak ketika berinteraksi dengan orang asing dan hidup di tempat asing. Bahasa -tentu saja- penting untuk menghadapi globalisasi, keberanian menghadapi sesuatu yang baru, latihan beradaptasi, kebiasaan (attitude) orang asing yang bermanfaat, petualangan yang mungkin ga bisa didapat di Indonesia, dan banyak lagi. Ga banyak orang diberi kesempatan seperti yang sedang saya alami sekarang...

Saya juga ingin anak-anak mencintai ilmu dan ini adalah salah satu kesempatan saya untuk memberitahu dengan efektif bagaimana sejatinya seorang yang mengejar cita-citanya. Saya ingin anak-anak semangat belajar dan pada akhirnya kelak jika saatnya tiba, mereka tidak akan ragu melanglang jauh mengejar ilmu dan mewujudkan cita-cita mulianya.

Kemudian saya sampai pada kesimpulan bahwa ini adalah takdir saya. Allah menakdirkan apa yang baik untuk saya menurutNya, dan saya harus percaya bahwa ini memang baik untuk saya dan keluarga saya. Allah juga telah membentangkan banyak sekali kemudahan untuk saya dan keluarga atas ketentuanNya ini. Maka kenapa kemudian saya harus mundur dan menyerah?

Takdir saya berada di jalan ini sekarang, dan ini yang terbaik. Takdir lain bukan untuk saya, dan saya ga perlu mengkhawatirkan apa tidak terjadi bagi saya. Saya hanya perlu menjalani peran ini dengan sebaik-baiknya hingga Allah menunjukkan hikmahNya bagi saya dan orang-orang yang saya sayangi...


Bintaro, 17 November 2014
Di tengah rinai hujan yang menginspirasi

No comments:

Post a Comment

Jazakumullah khairan katsira...
Makasih banyak ya, sudah meninggalkan jejak di blog ini.
Have a nice day ^^